PADAM 16.

10.5K 2.3K 104
                                    

Nitara merentangkan tangan, meregangkan ototnya yang terasa kaku. Badanya pegal semua karena memang semalam ia tidur jam tiga pagi. Gadis itu melirik jam di dinding dan menggelengkan kepala kesal kenapa ia tidak bisa tidur lebih lama. Sekarang sudah jam enam pagi dan itu berarti ia hanya tidur selama tiga jam. Sebentar lagi ia pasti akan mati muda jika jam istirahatnya terus amburadul seperti ini.

Wanita itu menggertakkan gigi, menahan diri agar tidak menoleh ke sisi kiri ranjangnya tapi setelah  bertahan selam tiga detik, Nitara mengaku kalah saat ia merasakan sakit di dadanya.

Sial! Tentu saja ia tidak akan berbaring di sana.

Ini adalah efek yang paling ia benci dari kenyamanan dan kehangatan yang ditawarkan Anggara. Karena meski berusaha membentengi diri lelaki itu terlalu lihai untuk mengikat wanita rapuh yang ketakutan menghadapi dunia. Lelaki itu telah pergi dan dia sendiri yang mendorongnya. Nitara hanya tidak ingin ada wanita lain yang merasakan bagaimana kehilangan cinta. Ia pernah kehilangan, sangat dalam dan menyakitkan.  Jadi ia tidak ingin berlaku kejam dengan mengikat Anggara dalam hubungan penuh rasa bersalah ini membuat lelaki itu meninggakakn pemilik hati yang sebenarnya,

Iya... ya... ini akan sesaat, sebentar lagi aku akan terbiasa lagi.

Nitara melebarkan senyum, terlalu lebar hingga pipinya terasa kaku. Ia melirik ke arah tumpukan paket berisi tas yang sudah ia selesaikan dan harus dikirm hari ini. Setidaknya ia memiliki pekerjaan yang akan menyibukkannya dan mengusir lelaki itu dari kepalanya.

Ini mudah, tidak akan sulit. Aku sudah terbiasa ditunggalkan. Ini mudah... ini mudah... ini mu...

Nitara kembali melirik ke sisi ranjangnya yang kosong dan wanita itu langsung merebakan tubuhnya sambil menarik selimut hingga menutupi kepala. Rasa sesak yang tiba-tiba menghantamnya membuat Nitara geram setengah mati.

"Sial ini sulit!"

☁☁☁☁☁☁

Nitara meletakkan dua cup mi instan dekat dengan dua botol air mineral yang dibawa Revan di atas karpet, di depannya Revan sudah menunggu dengan mata berbinar. Nitara sudah siap berangkat pagi ini tetapi Revan malah berkunjung dan merengek minta diberi makan, katanya Adjie tidak sempat membeli sarapan untuknya karena ada hal penting yang harus dilakukan. Dia bisa saja meninggalkan Revan dengan perut kosong hanya saja ia tidak tega. Lelaki itu selalu menemaninya saat Anggara tidak ada. Jadi Nitara menganggap ini bentuk balas budi.

"Kamu tahu aku sedang curiga, sekarang Adjie selalu menelepon di atas jam sepuluh dengan seseorang. Dan dia juga pulang terlambat." Nitara menunggu kelanjutan kalimat lelaki yang kini sedang meniup-niup kuah minya itu dengan sabar. "Dan yang aneh ia seperti memberi laporan terperinci saat menelepon."

"Tentang apa?"

"Aku tidak tahu. Dia selalu turun ke bawah saat melihat aku mulai  bersiap menguping,"

"Oh."

"Kenapa hanya jawabanmu hanya 'oh'?"

"Aku tidak tahu harus memberi respon apa."

"Mmm... oke itu masuk akal, tapi aku penasaran dengan siapa ia berbicara."

"Tanya saja padanya."

Saran Nitara yang kini sudah mulai memakan miya.

"No way... maksudku adalah aku tidak tahu cara menanyakannya.  Meski kami tinggal bersama, aku menyadari bahwa Adjie kadang bersikap tertutup pada hal-hal tertentu dan aku tidak berani memaksanya membuka diri."

Nitara tak menjawab. Kepalanya terlalu penuh untuk melanjutkan obrolah bertema berat  ini dengan Revan.

"Tapi Adjie sering menanyakanmu. Mungkin dia juga khawatir  sepertiku. Melihat Anggara menunggalkanmu itu rasanya benar-benar tidak baik.Meski pertanyaanya lebih mirip seperti pertanyaan kekasih yang khawatir dari pada sekedar tetangga yang peduli. Untung aku tidak cemburuan karena jika iya, maka kamu akan jadi rival dan kita tidak akan sarapan bersama seperti ini."

Nitara menganggukan kepala pelan, berusaha agar terlihat mendengarkan ucapan lelaki itu meski pada kenyataanya kepala Nitara mulai pusing karena kurang istirahat dan terlalu banyak berpikir, padahal ia masih harus mengantarkan barang pesanan.

"Aku menjelaskan panjang lebar dan kamu masih memandang wajah datar begitu." Kali ini  Nitara mengangkat wajahnya, dan Revan  langsung terlihat shock seolah baru menyadari penampilan wanita itu. "Aku punya mentimun sisa lalapam kemarin, mau kuambilkan?"

"Untuk apa?"

"Kamu tempelkan di matamu, agar tidak terlihat mengerikan seperti itu."

Nitara hanya melirik sebentar pada Revan yang kini mencibirnya. Wanita itu lebih memilih kembali memasukkan mi yang mengepul ke dalam mulutnya.

"Kamu bisa mengunyahnya terlebih dahulu, jangan langsung ditelan. Nanti lidahmu terbakar."

"Lebih baik kamu menghabiskan makanan bagianmu dari pada terus cerewet seperti itu."

Revan cemberut saat Nitara menunjukkan dengan garpu plastik. Lelaki itu lantas menghela napas. Nitara tampak berantakan. Penampilan wanita itu nyaris kembali seperti semula saat Anggara belum memasuki kehidupannya. Pucat, bersikap dingin dengan wajah tanpa ekspresi. Sadako. Revan tahu bahwa ia berdosa karena diam-diam menyebut temannya mirip sosok hantu menyeramkan dari negeri sakura.

"Sebaiknya kamu menghubunginya sebelum kamu mati sendiri karena patah hati."

Nyatanya ucapan  Revan tak berdampak apa-apa pada Nitara. Wanita itu masih sibuk dengan mi cup rasa kari di tangannya. Oh Revan memiliki tugas baru sekarang, memastikan Nitara tetap hidup setelah ia menemukan gadis itu menangis sendirian di kamarnya dua malam yang lalu tanpa Anggara di sana. Pertengkaran kekasih menurut Revan, hanya saja ia tak menyangka bahwa pertengkaran Nitara dan Anggara yang tiba-tiba itu berdampak sangat buruk pada ritme hidup wanita di depannya.

"Hello Nitara... apa kamu mendengarku?"

"Kamu berisik sekali!"

"Tentu saja aku harus berisik karena jika aku diam maka kita berdua tidak ubahnya patung yang sedang duduk bersama!"

Nitara kembali melirik Revan, lelaki itu berapi-api menjelaskan alasannya.

"Hubungi dia please, aku tidak mau kamu benar-benar menjadi hantu gentayangan karena kisah cintamu yang tak sampai."

"Aku tidak punya nomer ponselnya."

"Oh itu gamp... what? Bagaimana bisa kamu tidak punya nomer ponsel kekasihmu? Astaga kalian berbagi ranjang dan tidur berpelukan tapi tidak berbagi nomer ponsel? Hubungan  macam apa itu?!"

"Kamu benar-benat berisik. Pulang sana!"

"Kamu mengusirku?"

Ekspresi mendramatisir Revan nyatanya tak mengubah raut datar di wajah Nitara.

"Jangan lupa bawa cup mi-mu dan air mineral itu."

"Serius kamu mengusirku?"

"Dan tutup pintunya. Terima kasih."

"Ya Tuhan wanita ini benar-benar menyebalkan!"

Nitara menyeruput kuah minya dengan suara besar saat akhirnya Revan keluar dari kamarnya dengan berbagai gerutuan.
Mengambil tisu, Nitara mengelap mulutnya lalu bangkit menuju dapur. Membuang cup minya yang kosong ke dalam keranjang sampah dilanjutkan dengan botol air mineral yang isinya telah ia teguk sampai tandas. Wanita itu menatap keranjang sampah lalu menghembuskan napas keras. Nyatanya kepergian Anggara tidak pernah membuatnya baik-baik saja. Keranjang sampah itu sebagai salah satu bukti. Penuh dengan bungkus makanan instant semua.

Tbc

Love,

Rami

PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang