PADAM 9

11.1K 2.2K 136
                                    

Nitara melepaskan diri dari belitan tangan Anggara, wanita itu dengan terburu-buru berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan berkumur. Ia ingat bahwa semalam mereka tidur cukup larut hingga Anggara berpesan agar besok pagi lelaki itu dibangunkan pagi-pagi, ia harus ke bengkel jam setengah delapan pagi, sementara sekarang sudah setengah tujuh. Hanya tersisa satu jam bagi lelaki itu untuk bersiap-siap dan menempuh perjalanan ke tempat kerjanya yang lumayan jauh. Anggara tidak akan sempat membeli sarapan untuk mereka berdua, jadi Nitaralah yang harus menyiapkannya. Hebat kedatangan lelaki itu mampu membuat Anggara kini rutin menyentuh dapur.

Tergesa Nitara langsung menghampiri Anggara yang masih bergelung dalam selimut, wanita itu sempat mengambil jepitan berwarna hitam di atas lemarinya untuk mengikat rambut sebelum mulai menggoyangkan tubuh Anggara.

"Gara bangun... kamu harus bekerjakan." Nitara kembali menggoyangkan tubuh lelaki itu saat Anggara memilih berbalik dan menutup tubuhnya dengan selimut hingga kepala. "Bangun... bangun... tadi malam kamu minta dibangunkan, ayo sekarang bangun Gara!"

Nitara mendengkus kesal, tidak ada respon sama sekali dari Anggara. Wanita itu akhirnya memilih naik ke tempat tidur, membuka selimut yang menetupi Anggara lalu menarik tangan lelaki itu dengan keras. Tadinya Nitara berfikir usahanya akan berhasil karena tubuh Anggara sudah sedikit terbangun, butuh usaha yang lebih keras membuat Nitara memilih mengangkangi Anggara agar leluasa mengerahkan tenaga. Usaha yang sia-sia karena bukannya berhasil entah bagaimana caranya Nitara sudah berada dipangkuan Anggara yang kini tiba-tiba terduduk dengan seringai puas diwajahnya.

"Kamu ahli membangunkan seseorang."

Kedipan nakal yang diberikan Anggara membuat Nitara memukul lengan lelaki itu.

"Jadi kamu pura-pura tidur?"

"Hmm...."

Nitara merasa sedikit tak nyaman saat Anggara semakin menipiskan jarak di antara mereka, kini perutnya dan Anggara bahkan sudah bersentuhan. Buru-buru Nitara menahan dada Anggara dengan kedua telapak tangannya yang terkepal.

"Jangan begitu lagi, aku sudah khawatir kamu akan terlambat. Ayo sekarang mandi.q"

"Kapan lagi aku punya kesempatan membuatmu seperti ini?"

Lagi, seringai geli Anggara yang kemudian menunduk ke arah bagian bawah tubuh mereka yang menempel membuat Nitara merah padam.

"Lepas... aku harus membuat sarapan."

Decakan Anggara membuat wanita itu menghela nafas.

"Aku benar-benar harus memasak atau kamu akan berangkat bekerja dengan perut kosong."

"Ancaman yang sedikit menyeramkan mengingat aku memiliki satu mobil milik pelanggan cerewet yang harus ditangani hari ini dan itu jelas membutuhkan tenaga yang besar."

"Nah karena itu lepaskan aku sekarang."

"Tapi posisi kita kali ini bisa menghasilkan "sarapan" yang jauh lebih menyenangkan. Apa kamu tidak mau mencobanya?"

Sekali lagi, ucapan nakal Anggara dengan kedipan matanya yang menggoda membuat Nitara memejamkan mata, menahan malu luar biasa. Dia benar-benar menyadari kini bahwa tinggal bersama dengan lelaki dewasa bukanlah hal mudah. Dari skinship yang dilakukan Anggara selama ini Nitara jadi mengetahui bahwa lelaki itu termasuk lelaki yang memiliki kebutuhan biologis yang besar, sudah berapa kali lelaki itu mencoba menaklukan Nitara. Beruntunglah bahwa wanita itu tidak terlalu tertarik dengan hubungan fisik setelah apa yang menimpanya dulu.

"Kamu tahu kita tidak bisa melakukannya."

Nitara menatap Anggara yang kini mengerutkan kening. Anggara memiliki wajah yang teduh meski sebenarnya ia termasuk lelaki humoris dan pemaksa, sifat terakhir adalah hal yang jarang diketahui siapapun yang tidak benar-benar mengenal lelaki itu.

"Kenapa tidak?"

Nitara hanya tersenyum tipis, tak berniat menjawab pertanyaan Anggara. Mereka memang tinggal bersama tapi bukan berarti mereka akan melakukan segala sesuatu yang terjadi antara sepasang kekasih yang saling mencintai. Demi tuhan mereka sama-sama tahu jelas mengapa hubungan gila ini masih berlangsng. Tanggung jawab Anggara dan kesepian Nitara. Hanya saja kini Nitara sudah mengambil garis tegas di kepalanya, bahwa Anggara tidak akan dijadikan sebagai lelaki yang akan menua bersamanya. Setelah apa yang terjadi kemarin, setelah salah satu bagian dari hidup dan hati lelaki itu yang Nitara ketahui tak sengaja, Nitara memutuskan untuk memberikan waktu Anggara melunasi rasa tanggung jawabnya yang tak perlu itu.

Benar, Nitara hanya harus bersikap baik-baik saja, lebih ceria dari pada saat lelaki itu menemukannya dan setelah rasa bersalah Anggara menghilang dibantu kehadiran wanita yang dilihat Nitara kemarin, ia yakin tidak sulit untuk membuat lelaki itu pergi dari hidupnya. Itu rencana yang sempurna dan Nitara yakin akan berhasil dalam kurun waktu tidak terlalu lama.

"Apa kita harus menikah?"

Nitara tersentak, ia menatap Anggara dengan mata membulat karena tak mempercayai apa yang baru saja ditanyakan lelaki itu.

"Jadi kamu ingin menikahiku untuk seks?"

Ada geli dan getir bercampur dalam suara Nitara, membuat Anggara mengambil satu kecupan cepat di bibir wanita itu.
Nitara hanya mampu mengerjapkan mata, tak percaya pada apa yang baru dilakukan Anggara padanya.

"Bukan hanya tentang seks, seorang lelaki bisa mendapatkan seks dengan mudah dengan wanita murahan asal ia memiliki uang. Dan kebetulan aku memiliki uang yang lebih dari cukup hanya untuk seks. "

"Lalu?"

"Tapi pernikahan akan membuatku memilikmu, seluruhnya, seutuhnya."

Nitara terpaku, tak menyangka jawaban Anggara. Butuh beberapa detik hingga wanita itu kembali bisa mengeluarkan suara.

"Aku sudah tidak utuh, kamu tahu itu."

"Aku tahu karena aku yang merenggut keutuhanmu."

Nitara mengambil nafas dalam lalu menggelangkan kepala perlahan. Berusaha untuk tidak termakan fatamorgana yang sedang didongengkan Anggara.

"Aku sudah tidak mempercayai pernikahan Anggara, pernikahan hanya sebuah ilusi di mataku dan kamu tahu jelas alasannya."

Nitara kemudian memilih bangun dari pangkuan Anggara dan berjalan menuju dapur, namun sebelum memulai memasak wanita itu menoleh ke arah Anggara dan berbicara dengan ringan.

"Tapi akan kupertimbangakan pernikahan itu jika kamu bisa berangkat bekerja tepat waktu setiap hari dan menghasilkan uang yang banyak hingga bisa membuatku hidup nyaman hingga akhir hayat."

Nitara terkejut saat Anggara tiba-tiba melompat dari tempat tidur dan mencuri satu ciuman di bibir Nitara sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi.

Hal lucu bagi Nitara karena wanita itu sama sekali tak mengetahui bahwa ucapan terakhirnya tadi bagai sebuah janji yang harus segera wanita itu penuhi karena Anggara memang berniat memiliki.

Tbc

Love,

Rami

Bagi kalian yang memiliki buku A Sinner, kalian akan tahu Cahaya (kekasih Anggara zaman dahulu) itu siapa😆😆😆

PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang