PADAM 15

10.7K 2.2K 208
                                    

Nitara meletakkan mangkuk kaca berisi sop buntutnya di atas meja kecil yang kemarin dibuatkan Anggara sebagai meja makan mereka. Meja berkaki pendek persis seperti meja-meja di rumah makan ala lesehan. Selepas maghrib wanita itu telah sibuk di dapur. Memasak untuk lelaki yang kini belum menampakkam batang hidungnya. Nasi hangat, telur dadar, kerupuk, bakwan jagung dan sop buntut telah tertata rapi dan Nitara tersenyum lebar saat melihat bagaimana semua hidangan itu mengepul. Ia selalu suka memasak dan kedatangan Anggara dalam hidupnya kini membuat wanita itu memiliki alasan untuk melakukan hobinya kembali. Tak mungkin mereka terus makan dengan membeli makanan di luar. Selain itu jelas tidak hemat, Nitara ingin memastikan bahwa makanan yang masuk ke tubuh lelaki itu terjamin kebersihan dan kesehatannya. Nitara mengerutkan kening saat menyadari bahwa ia mempedulikan Anggara hingga sedetail itu. Sejak kapan?

Mengusap wajahnya Nitara berusaha mengenyahkan pertanyaan di kepala. Itu pertanyaan konyol. Wanita itu memiliki lebih dari satu alasan untuk mempedulikan Anggara. Lelaki itu memperlekukannya sangat baik dan perhatian. Menghiburnya saat ia sedih, menemani saat kesepian dan bisa dikatakan bahwa selama dua bulan ini Anggara menopang hidupnya. Bukan karena Nitara tak mampu membiayai diri, tapi lelaki itu bersikeras mengambil peran sebagai seorang pria yang beratanggung jawab terhadap wanitanya. Hubungan mereka nyaris seperti hubungan suami istri, satu-satunya hal yang tidak terjadi antara dirinya dan Anggara adalah berhubungan intim seperti sepasang kekasih. Lelaki itu memberikan kenyamanan yang tak pernah Nitara bayangkan dan sekarang mulai terasa menakutkan.

"Ini berbahaya."

Nitara bergumam pelan sebelum kemudian  bangkit, mengambil handuk di lemari dan berjalan menuju kamar mandi. Ia perlu mengguyur kepalanya dengan air dingin agar pikirannya kembali normal.

🌸🌸🌸🌸🌸

Nitara menatap pantulan wajahnya di cermin lalu mengernyit heran. Wanita yang sejak tadi mengeringkan rambutnya meletakkan handuk yang ia gunakkan di bahu. Wanita itu lantas mendekat ke arah cermin yang yang juga berfungsi sebagai pintu lemari lalu meraba bagian bawah matanya. Dulu ada lingkar hitam dan kantung mata yang tidak mau hilang karena nyaris setiap malam Nitara kesulitan tidur dan akan terbangun tengah malam karena mimpi buruk, tapi kini kantung mata dan lingkar hitam itu sudah tidak terlihat.

Jemari Nitara berpindah ke bagian kulit wajahnya, wanita itu bernapas tersendat saat mengetahui bahwa wajahnya terasa tidak sedingin dulu, terlihat tidak sepucat yang ia ingat. Bahkan ada rona di sana dan bibirnya kembali berwarna kemerahan. Ini karena sekarang wanita itu bisa istirahat dengan tenang dan tidur nyenak, itu jelas karena kehadiran Anggara.

Nitara memundurkan langkah sambil menggelang tak percaya. Wanita itu lantas menolah ke arah meja makan, melihat satu persatu makanan yang ia masak untuk Anggara. Dengan panik Nitara kembali melihat pantulan dirinya di cermin. Apa sebenarnya yang telah terjadi pada dirinya? Permainan apa yang lakoni bersama Anggara? Bagaimana bisa ia memberikan dirinya begitu dekat dan nyaman saat mengetahui ada wanita lain di hati lelaki itu?

"Ini harus dihentikkan."

🌊🌊🌊🌊🌊

Pukul dua belas malam dan mata Nitara belum jua bisa terpejam. Wanita itu menatap langit-langit kamar dengan perasaan gundah. Sisi sebelah ranjangnya kosong membuktikan bahwa salah satu alasan ia tidak bisa beristirahat karena lelaki itu belum pulang. Belum berbaring di sampingnya.

Nitara membalik badan dan matanya langsung menangkap pemandangan masakan yang tersaji di atas meja makan. Makanan itu telah dingin semua. Didiamkan selama empat jam jelas tidak bisa membuat makanan-makanan itu tetap hangat. Usaha memasakknya terasa sia-sia saja. Tadinya ia ingin minta maap pada Anggara. Lelaki itu pergi sejak sore dengan wajah kesal. Ia belum mengenal Anggara lebih jauh, tapi Anggara adalah  lelaki dewasa yang pastinya tidak suka merajuk lama-lama. Namun, hingga hampir tengah malam lelaki itu tak kembali dan Nitara tak bisa bersikap tidak peduli. Ia gelisah setengah mati. Berbagai pertanyaan membuatnya kewalahan sendiri. Di mana lelaki itu sekarang? Bersama siapa? Apa yang sedang ia lakukan? Apakah ia sudah makan malam? Atau ia tidak ingin pulang karena masih kesal?

Suara ketukan pintu menghentikan segala pertanyaan di kepala Nitara. Wanita itu hampir seperti akan berlari saat bangun dari tidurnya untuk membuka pintu.

Ada perasaan lega sekaligus ketakutan yang menyerbu Nitara saat melihat Anggara berdiri di sana. Menatap wanita tanpa bekedip. Ini sudah terlalu jauh, dan Nitara harus segera menghentikannya. Ia tidak ingin lagi berharap dan menyerahkan hatinya. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bagaimana mengerikannya perasaan ditinggalkan dan Nitara jelas bukan idiot yang ingin mengalaminya lagi.

"Masuklah."

Nitara mempersilahkan Anggara sopan, tapi bukannya terlihat lega lelaki itu malah tampak kecewa. Anggara melewatinya begitu saja tanpa jawaban.

"Aku sudah memasak, apa kamu mau makan?"

Iya, Nitara harus bersikap lebih ramah. Rajutan kisah mereka sudah pahit sejak awal, tapi Anggara berusaha keras untuk memperbaikinnya. Hanya saja bagi Nitara, itu semua sebuah kesia-siaan. Ia tidak menginginkan hubungan apapun, dengan siapapun. Anggara sudah cukup berusaha dan ia tidak harus menunggu lelaki itu jenuh dengan perjuangannya hingga memutuskan meninggalkan Nitara. Wanita itulah yang harus mendorong Anggara pergi, dengan lebih keras dan harus berhasil. Lelaki itu memiliki kehidupan sendiri yang harus dijalani. Sebuah cinta sesungguhnya untuk bisa bebahagia bukannya terpaku pada satu wanita hanya karena rasa tanggung jawab yang tak berkesudahan.

"Tapi sudah dingin, apa mau kupanaskan dulu?"

"Langsung makan saja."

Nitara mengabaikan raut menyelidik di wajah Anggara karena sikapnya yang terlalu 'hangat' malam ini.

"Makanlah, aku memasaknya sepenuh hati."

Senyum Nitara merekah lebar saat melihat Anggara menerima piring yang telah ia isi dengan nasi dan lauk lainnya untuk lelaki itu.

"Kamu suka?"

Anggara tak menjawab, lelaki itu menyelesaikan kunyahannya dengan mata menatap tak lepas dari wajah Nitara.

"Apa yang ingin kamu katakan?"

"Aku?"

"Katakanlah Nitara, jangan berpura-pura tenang dan bersikap terlalu hangat seperti ini."

Tembakan yang tepat dan Nitara menunduk cemas karena taktiknya tebaca. Wanita itu menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkat kepala, menatap langsung pada Anggara yang kini telah meletakkan sendok dan garpunya.

"Aku... aku ingin ini berakhir."

Anggara menatap Nitara nyaris tanpa kedip membuat wanita itu meremas tangannya di bawah meja diam-diam. Ekspresi Anggara terlalu tenang untuk seseorang yang telah lelah berjuang.

"Aku sudah baik-baik saja. Kamu tidak perlu merasa bersalah lagi. Kita memiliki jalan berbeda yang harus kita tempuh. Dan sudah saatnya mengakhiri kebersamaan ini."

Tidak ada jawaban, lelaki itu masih mengatupkan bibir. Seolah meminta Nitara menyelesaikan ucapannya.

"Mari bebaskan diri kita dari rasa bersalah Anggara. Dan terima kasih untuk waktu yang kamu habiskan menyembuhkan hatiku."

Bibir Nitara bergetar tersungging setengah dan jelas palsu. Wanita itu mati-matian menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul di hatinya.

Anggara menundukkan kepala, seperti pejuang yang akhirnya paqqham bahwa ia memang diharuskan kalah. Dan saat lelaki itu akhirnya mengangkat kepalanya. Nitara membuang muka karena rasa sakit menjadi-jadi melihat ekspresi sendu Anggara.

Lelaki itu bangkit dari duduknya, lalu mengambil ranselnya di atas lemari. Memasukkan beberapa pakaiannya sebelum  mendekati Nitara.

"Aku pergi, jaga dirimu selama aku tidak ada."

Nitara memejamkan mata saat Anggara mendaratkan sebuah kecupan dalam dan lama di pucuk kepalanya.

Lelaki itu berderap keluar dan menutup pintu dengan pelan. Meninggalkan Nitara yang kini menutup wajah dengan kedua belah tangannya. Berusaha menahan isakan karena tak pernah menyangka bahwa kepergian Anggara meninggalkan perih yang tak pernah ia bayangkan.

Tbc

Love,

Rami

Part ini resmi menandakan bahwa saya memilih PADAM untuk diselesaikan terlebih dahulu. Doakan dal satu atau dua bulan kedepan cerita ini kelar.

Untuk para pemuja Rajendra. Bersabarlah. Meski terlihat ringan nyatanya menulis Rajendra membutukan pengetahuan yg lebih luas bagi saya.

PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang