JANGGAL 1

219 33 4
                                    

"Mereka disini.. Disekitarmu.. Didekatmu.. Disampingmu.. Menatap dirimu"

•••●●●•••

•••●●●•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


       Aku membuka lembaran buku Sosiologi yang sedang aku baca. Tiba-tiba, aku mendengar suara teriakan setengah menggeram. Seketika aku terhenyak dan menoleh kearah teman-temanku. Kulihat ekspresi mereka tegang. Ini hari kedua setelah kemarin, hari kamis terjadi kesurupan massal. Aku melihat jam tanganku menunjukkan pukul 11.25 seperti kemarin. Anehnya, kesurupan itu hanya menimpa siswi dari kelas IPA, sementara kami siswi IPS tidak terkena dampaknya.
 

    Aku menelan salivaku sendiri. Aku kembali fokus membaca karena kulihat Pak Andi tidak bergeming sama sekali dari mejanya. Pak Andi terlihat fokus dengan bukunya. Aku yakin teriakan itu terdengar begitu kencang dan pasti Pak Andi dapat mendengarnya. Atau mungkin Pak Andi pura-pura tidak mendengar.
       Lama-lama, teriakan demi teriakan semakin terdengar banyak. Aku meremas kuat lembaran buku yang kupegang untuk melampiaskan ketakutanku.
       "Viola, apa yang kau lakukan dengan buku itu?" tanya Pak Andi membuatku kaget. Aku membenarkan kembali lembaran buku yang sudah kusut karena ulahku.
       "Maaf, Pak." kataku pelan.
       Pak Andi tidak merespon. Aku menoleh kearah Famella, dia menatapku dengan tatapan ketakutan. Aku mengerutkan keningku. Kenapa dia menatapku seperti itu.
      "Pak, saya permisi sebentar." kata Famella, sambil beranjak dari tempat duduknya.
      "Tidak ada yang boleh keluar dari kelas ini," kata Pak Andi tegas. Famella terlihat semakin panik. Entah apa yang dia takutkan. Dia-pun terpaksa kembali duduk.
       "Pak, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Refandi, ketua kelas kami.
        "Tidak ada apa-apa." kata Pak Andi singkat.
      "Pak, kami tidak bisa seperti ini terus. Kami merasa ketakutan saat ini, Pak." sambung Devan.
       Pak Andi masih terlihat diam dan tampaknya tidak mau merespon pertanyaan dari muridnya.
      "Pak, jawab kami, Pak. Kami merasa ada yang janggal di sekolah ini." sambung Ferina.
      "Sebelumnya, ini tidak pernah terjadi. Kenapa sekarang terjadi?" tanya Aditya.
      "Diam!" bentak Pak Andi tiba-tiba. Seketika semua murid bungkam seribu kata.
      "Kalian jangan banyak tanya! Seharusnya kalian bersyukur, karena hantu-hantu itu hanya merasuki siswi kelas IPA saja. Kita masih terbilang aman, dan kalian harus mengantisipasi kemungkinan buruknya. Rajinlah beribadah dan berdoa sesuai kepercayaan masing-masing." kata Pak Andi dengan nada yang berubah menjadi datar.
      "Tidak!" kata Famella tiba-tiba. Aku menoleh kearahnya. Dia menatap diriku. Sungguh aku jadi takut dengan tatapannya. Dia menutup kedua telinganya. Aku heran dan menoleh pada Pak Andi.
       "Ada apa Famella?" tanya Pak Andi.
       "Emm, tidak Pak. Maafkan saya, saya hanya sedang melamun tadi," kata Famella sambil mengalihkan pandangannya dariku.
        Aku kembali menatap Pak Andi. Ekspresinya terlihat aneh. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya. Sementara teriakan menggeram itu masih terdengar.
       Tiba-tiba, pintu kelas kami terbanting dan terbuka lebar. Kami berteriak karena kaget. Seorang siswi yang kerasukan, masuk ke kelas kami. Hanya bagian putih dari matanya yang terlihat. Kami berlarian menjauh darinya.
        Siswi itu terlihat seperti mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti. Pak Andi terlihat panik. Apalagi kami yang ketakutan setengah mati. Aku membaca ayat kursi dalam hati.
      Siswi itu menghentakkan kakinya ke lantai beberapa kali. Kami merasa lantai dua yang kami injak ini berguncang.
     "Hentikan!Jangan!" teriak Famella begitu histeris sambil menutup kedua telinganya. Aku menghampiri Famella dan memeluknya untuk menenangkannya padahal aku sendiri dalam keadaan panik yang luar biasa.
       Beberapa siswa kelas ipa masuk bersama seorang pria bersorban yang sepertinya seorang ustadz yang sengaja mereka panggil untuk mengatasi kesurupan massal ini. Mereka meringkus siswi itu sementara Pak ustadz membaca ayat suci.
      Tubuh siswi itupun mengejang. Dia menggeram dan berteriak. Beberapa siswa kelasku membantu mereka. Beberapa saat kemudian, siswi itu pun lunglai lemas dan tak sadarkan diri. Siswa kelasku membantu mereka membawa siswi itu ke UKS sekolah.
      Tubuh Famella dalam pelukanku masih gemetar hebat. Aku menoleh kearah Pak Andi. Dia juga menoleh kearah kami.
      Bell berbunyi.
     "Ehmm, pelajaran sudah selesai.. Saatnya kalian istirahat kedua." kata Pak Andi kemudian berlalu. Famella terlihat lebih tenang. Aku-pun melepaskan pelukanku.
       "Semuanya baik-baik saja, aku harus pergi ke mushola untuk sembahyang dzuhur," kataku. Famella mengangguk. Aku mengajak Melinda dan Agnia untuk pergi ke mushola. Aku tidak mengajak Famella karena dia berbeda keyakinan dengan kami. Famella beragama kristen. Namun di kelas kami tidak pernah ada perbedaan. Kami saling menghargai satu sama lain.
       Sesampainya di mushola, aku mengambil air wudhu, begitupun dengan Melinda dan Agnia. Kami bertiga terlambat datang ke mushola. Semuanya sudah melaksanakan sholat berjamaah. Sementara kami bertiga baru mau mengambil air wudhu.
      Setelah selesai berwudhu, kami menutup kran air. Namun, kami mendengar suara air mengalir dari dalam kamar mandi mushola. Agnia menoleh kearahku. Aku dan Melinda saling pandang.
      "Apa kalian mendengarnya juga? Suara seseorang di kamar mandi itu sedang berwudhu," kata Agnia sambil menoleh kearah kamar mandi tersebut.
       "Emm, mungkin memang ada seseorang didalam," kataku berusaha menghilangkan ketakutanku.
      "Tapi, aku sama sekali tidak melihat ada orang masuk ke kamar mandi itu. Aku yakin, kita yang terakhir datang kesini." kata Melinda dengan ekspresi panik.
        "Emm, mungkin kalian tidak menyadarinya. Sebaiknya kita segera masuk, ayo." kataku. Kami-pun memasuki mushola. Yang lain sudah selesai dan mereka semua keluar dari mushola. Kini tinggal kami bertiga didalam mushola.
       Kami-pun berniat sholat sendiri-sendiri. Kami berbenjer dengan posisi Melinda, Agnia kemudian aku di sudut mushola. Kami memulai sholat. Aku membaca bacaan sholat dengan serius dan khusyuk.
      Saat aku rukuk kemudian bangkit dari rukuk, aku melihat seseorang bermukena sholat di hadapan kami berjarak sekitar tiga meter.
        Namun, aku tidak memperdulikannya walau aku sendiri tidak sadar sejak kapan dia disana. Aku-pun kembali shalat dengan khusyuk. Aku bersujud dan duduk diantara dua sujud. Tiba-tiba wanita bermukena itu berada di jarak dua meter dari kami.
       Aku kembali bersujud dan bangkit. Kini bahkan wanita itu sudah ada di depanku. Aku sangat terkejut. Bacaanku dan konsentrasiku juga jadi berantakan. Aku yakin sholatku sudah batal. Aku melirik kedua temanku lewat sudut mataku. Kulihat tubuh mereka gemetar walau mereka menyembunyikan itu dibalik ekspresi khusyuk mereka.
     Aku kembali rukuk dan saat bangkit, aku melihat kepala wanita itu berputar dan menatap diriku. Wajahnya sangat mengerikan dengan luka bakar dan luka tusukan. Seperti ada alarm yang berbunyi dikepalaku, aku berteriak sekencang mungkin dan berlari begitupun dengan teman-temanku. Aku yang memakai bawahan mukena, tersandung dan jatuh didepan pintu mushola. Kulihat wanita mengerikan itu tertawa menakutkan. Aku segera melepaskan mukenaku dan berlari menyusul kedua temanku yang tega meninggalkan diriku.
       Cepat sekali mereka lari. Aku berlari ke kantin. Di kantin tidak ada siapa-siapa. Napasku terengah-engah. Aku-pun duduk di salah satu kursi. Aku masih shock dengan kejadian barusan.
      Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk bahuku. "Aaa!" aku berteriak dan terhenyak. Aku menoleh ternyata seorang siswa berkacamata. Dia Ragil, tetangga kelasku kelas XI-IPS-1. "Kamu Viola kelas IPS 2, kan? Kenapa sendiri disini? Kantinnya 'kan tutup kalo lagi istirahat kedua." kata Ragil sambil mengalihkan pandangannya dariku.
      "Emm, iya. Aku tadi dari mushola. Aku mau ke kelas tapi temen-temen aku malah duluan ninggalin aku," kataku sedikit menggerutu.
      "Emm, kalo gitu, bareng yuk ke kelas, kita 'kan deket kelasnya." kata Ragil sambil memainkan buku Ekonomi yang dia pegang.
      "Ayo," kataku. Aku sedikit merasa aman karena takut sendiri ke kelas. Kulihat kedua pipi Ragil memerah. Ragil adalah siswa yang sangat cerdas di kelas IPS 1. Dia juga baik dan ramah. Hanya saja karena penampilannya yang menurut sebagian orang cupu itu membuatnya di bully oleh teman-temannya. Ya, anak kelas IPS 1 memang terkenal nakal. Padahal anak kelas IPS yang lainnya terkenal baik dan disiplin.

Sementara anak IPA juga baik bahkan seolah tidak memiliki kekurangan dimata guru. Mereka juga dianggap memiliki kecerdasan diatas anak-anak kelas IPS. Dan memang itu benar. Tapi bagiku tidak masalah. Kami juga tidak pernah bermasalah dengan anak IPA. Hanya anak IPA memiliki selera humor yang buruk.

Tak terasa aku sudah sampai di kelasku.

"Emm.. Terimakasih sudah mau berjalan kemari bersamaku" kata Ragil. Aku mengerutkan keningku. Sebenarnya kata-katanya itu terdengar abstrak bagiku.

Aku tersenyum. "Sama-sama, sampai jumpa" kataku sambil berlalu ke kelas.

"Eh.. Viola tunggu"

Aku menghentikan langkahku dan menoleh kearah Ragil. Ragil menghampiriku dan memberikan buku Ekonomi yang sedari tadi dia pegang padaku.

"Berikan ini pada Famella.. Maaf menyuruhmu " kata Ragil.

"Kamu saudaranya Famella? " tanyaku. "Aku sepupunya " jawab Ragil.

"Baiklah.. Aku akan memberikannya" kataku. Ragil tersenyum. "Terimakasih " aku mengangguk dan memasuki kelasku.

•••●●●•••

By

Ucu Irna Marhamah

JANGGALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang