"Darahmu membuatku bernafsu.. Desiran yang hangat dan anyir.. Membangkitkan gairahku"
•••●●●•••
Ragil menutupi luka di dahiku dengan plester. Aku menatap Ragil. Tampaknya dia gugup. Aku ingin sekali tertawa melihat ekspresinya. Kedua pipi putihnya juga memerah. Apa dia grogi saat berhadapan seperti ini dengan diriku?
"Kamu PMR? " tanyaku. Ragil mengangguk. Aku tersenyum. "Aku baru tahu ada PMR dari kelas IPS, biasanya kan PMR itu dari kelas IPA " kataku.
"Banyak juga anak IPS masuk PMR, tujuan kami untuk memberikan pertolongan pertama jika ada siswa kelas kami yang mendadak sakit atau terluka" kata Ragil.
Ragil berkali-kali membenarkan kacamatanya. "Viola.. Apa kau pernah menyukai seseorang? " tanya Ragil sambil menatap diriku. Namun kemudian dia mengalihkan pandangannya. Aku tersenyum.
"Tentu saja.. " kataku. Dia terlihat berpikir. "Kalo kamu? " tanyaku. Dia kembali menatap diriku. Kedua pipinya semakin merah.
"Iya.. " jawab Ragil. Aku tersenyum. "Siapa yang kamu sukai? " tanyaku. Kedua pipinya sudah merah seperti kepiting rebus.
"Dia gadis yang baik dan cantik.. Dia istimewa dimataku.. " kata Ragil pelan. "Kamu bilang gak sama dia kalo kamu suka sama dia? " tanyaku. Dia menggeleng.
"Kenapa? Akan lebih baik jika dia tahu" kataku. "Tidak.. Dia akan membenciku jika aku bilang kalau aku menyukainya" kata Ragil dengan ekspresi sedih.
Sikap Ragil sangat manis seperti anak kecil. "Dan siapa yang kau sukai? " tanya Ragil padaku. Dia menatap diriku penuh tanya. "Ada.. Tapi aku tidak mau bilang, aku kan perempuan " kataku.
"Raka? " tanya Ragil. Aku tersenyum. "Tidak.. Bukan dia.. Lagian dia juga mana suka sama aku.. Dia kan ganteng dan kayaknya pemilih " kataku.
"Apa kau pernah memiliki pacar? " tanya Ragil. Aku menggeleng. "Papa pasti marah kalo tahu aku pacaran" kataku. Ragil menelan salivanya.
"Papa kamu galak? " tanya Ragil. "Iya.. Sangat galak" kataku. Pipi merah Ragil beruba jadi pucat. Aku tersenyum kemudian menyikut dadanya.
"Aku bercanda " kataku kemudian tertawa. Dia menghela napas. "Emm.. Apa semua siswi yang kerasukan sudah kembali normal? " tanyaku.
"Iya.. Sebagian siswi sudah sadar.. Namun ada juga yang masih kerasukan" kata Ragil dengan ekspresi sedih. "Famella" katanya. Aku terkejut.
"Dimana dia? Kita harus menemuinya! " kataku. "Tidak.. Romo Frans melarang kita menemuinya.. Mereka sedang melakukan proses exorcist dari tubuh Famella " kata Ragil.
Aku menghela napas panjang. "Proses pembelajaran sudah terganggu.. Kepala sekolah menyuruh kami mengantar pulang para siswi yang terluka dan sudah sadar dari kerasukan.. Jadi.. Lebih baik aku mengantarmu pulang " kata Ragil. Aku mengangguk.
Aku keluar dari UKS. Aku melihat tunggul pohon itu sudah tidak berpenghuni lagi. Tidak ada lagi tuyul yang bermain-main, tidak ada lagi kuntilanak yang tertawa sambil berayun-ayun di dahan pohon, tidak ada lagi hantu yang merangkak.
Kemana mereka?
Mereka pasti marah karena rumah mereka sudah ditebang. Ragil menarik tanganku.
"Jangan melamun" katanya. Aku mengangguk pelan dan melanjutkan langkahku. Namun aku teringat Famella.
"Ragil.. " aku menghentikan langkahku. Ragil menoleh kearahku. "Kenapa? " tanya Ragil.
"Aku ingin bertemu Famella " kataku. "Tapi kondisinya tidak memungkinkan " kata Ragil.
"Aku ingin melihat kondisinya" kataku. "Baiklah, ayo.. "
Kami pun berlalu menuju tempat parkir. Aku melihat ada Raka disana bersama teman-temannya.
"Hai Viola" sapa Raka dengan senyuman manisnya. Dia mendelik tajam pada Ragil. Ragil menunduk.
"Raka.. Kenapa kamu gak bantuin temen kamu yang terluka atau yang kerasukan? " tanyaku. Raka tampak bingung mau menjawab apa. Aku dan Ragil saling pandang.
"Emm.. Oh ya kita pulang bareng yuk" kata Raka. Sontak mendapat sorakan dari teman-temannya.
"CIEEEE"
"Emm.. Aku mau pulang sama Ragil aja.. " kataku. Ragil menyalakan motornya. Raka terlihat kesal padaku. Namun siapa peduli.
Ragil menaiki motornya. "Ayo.. " kata Ragil. Aku mengangguk dan duduk dibelakangnya.
Motor Ragil melaju dengan kecepatan sedang menuju gereja yang berdiri kokoh didepanku. Aku mendengar suara teriakan, aku yakin itu suara Famella. Ragil menatap diriku.
"Kau yakin ingin melihatnya? " tanya Ragil. Aku mengangguk. Kami memasuki gereja. Kulihat beberapa pendeta mengelilingi Famella yang menggeliat dan meraung-raung di tengah-tengah mereka.
"Aaarrgggghhhhh... Kubunuh kalian!!! " teriaknya. Tatapannya sangat menakutkan. Matanya berwarna merah seperti darah. "Famella.. " gumamku pelan.
Tatapan Famella tertuju padaku. Dia menatap tajam diriku. "Jangan menatap matanya.. " kata Ragil. Aku mengalihkan pandanganku kearah lain.
"Niiiiiiiiiikkhhhhh" tawanya terdengar mengerikan sekali. "Ayo.. " Ragil menyentuh bahuku. Aku mengangguk. Kami pun berlalu.
"Jangan pergi!!!! " teriak Famella. Aku akan berbalik, namun Ragil menahanku. Kami pun memilih tetap pergi.
Ragil mengantarku pulang sampai kerumah. Di rumah ada Papa sama Mama. Viona juga ada. Mereka terkejut dengan keadaanku.
"Astagfirullah.. Viola.. Dahi dan pelipis kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu? " tanya Mama panik.
Aku dan Ragil saling pandang. Aku pun menceritakan semuanya. Tentang sekolah kami yang sering terjadi kerasukan massal dan tentang hantu yang menerorku sampai ke rumah sehingga aku harus kabur ke rumah Famella. Lalu aku juga menceritakan kejadian yang barusan terjadi di sekolah.
Viona memelukku. "Kakak.. Jangan sekolah lagi ya.. Viona takut kakak kenapa-napa " kata Viona sedih. Aku tersenyum kemudian membelai lembut rambut adikku.
"Aneh.. Kenapa sekolah itu jadi angker.. Dulu waktu Papa sekolah disana tidak terjadi apapun " kata Papa.
Aku jadi teringat Dinda yang sering menyebut nama Papa. Apa aku bertanya saja pada Papa? Apa ini waktu yang tepat.
"Papa rasa, kamu harus pindah sekolah" kata Papa. Aku terkejut. Kenapa harus pindah sekolah? Aku sudah kelas sebelas semester dua, jika aku pindah, maka semuanya akan ribet.
"Emm.. Permisi.. Saya harus pulang.. " kata Ragil sambil mencium tangan ayah dan ibuku.
"Dia punya mata batin juga? " tanya Mama. "Tidak.. " kataku. "Tampaknya dia anak yang baik" sambung Mama. Aku tersenyum.
"Pacar baru kakak? " tanya Viona. "Ih kamu.. Kecil-kecil ya nanyain pacar mulu.. Aku gak punya pacar" kataku sambil mencubit pipi Viona. Viona tertawa.
"Jadi, kamu mau kan pindah sekolah? " tanya Papa. "Emm.. Enggak Pa.. Aku udah nyaman di sekolah ini.. Aku juga udah cape ngumpulin nilai dari kelas sepuluh " kataku.
"Nyaman? Meskipun banyak kejadian mengerikan itu? " tanya Mama.
"Besok akan ada pengajian besar dan pengusiran roh jahat.. Jadi aku rasa semuanya akan baik-baik saja " kataku.
"Papa sarankan agar kamu menutup mata batin kamu saja" kata Papa. Aku mencerna kata-kata Papa, kemudian mengangguk pelan.
Aku mendengar suara tawa mengerikan itu lagi. Aku menoleh ke samping. Dinda disudut ruangan dengan tatapan tajam tertuju pada Papa.
•••●●●•••
By
Ucu Irna Marhamah

KAMU SEDANG MEMBACA
JANGGAL
HorrorDia disana, tatapannya tertuju padaku. Kedua mata merahnya menyiratkan kemarahan atau mungkin dendam. Sementara aku tidak tahu kenapa dia menerorku dan teman-temanku selama ini? Padahal kami tidak pernah berbuat apapun padanya. Dan yang jelas, dunia...