Prang!
Yara menutup mata dan telinganya rapat-rapat. Ia tak ingin menangis meskipun tubuhnya kini telah bergetar hebat. Rapalan nama orang-orang yang ia sayangi terus mengalun dalam hatinya, berharap seseorang akan datang dan membawanya pergi jauh.
Wanita itu menggeram melihat Yara yang tak bergeming di tempatnya. Ia menghembuskan nafasnya kasar sebelum berjalan mendekati gadis malang itu. Ia kemudian berlutut di depan Yara yang terduduk tak berdaya di lantai. Lalu mencengkeram rahang gadis manis itu sekuat-kuatnya.
Kepala Yara terangkat dengan paksa. Ia meringis menahan sakit yang tak bisa dielakkan. Percuma, meskipun ia ingin balas mencengkeram leher wanita di depannya itu. Sekarang ia tahu, ternyata wanita itu seribu kali lebih licik daripada ayahnya.
"Ternyata kau lebih memilih mati daripada memberitahuku pin berangkas itu, ya?"
Wanita itu melepaskan cengkeramannya dan menatap anak tirinya itu dengan tatapan sendu. Perlahan ia mulai mengelus rambut gadis itu dan mengecup keningnya. Yara tetap pada pendiriannya, sama sekali tak ingin membuka mulutnya barang se-inchi pun.
"Putriku sayang, kumohon berikan pin itu untukku." ujar wanita itu seraya tersenyum manis. "Katakan saja."
Yara mengangkat pandangannya dan menatap wanita itu dengan penuh kebencian. Kemudian tangannya terangkat tanpa perintah dan langsung menampar wajah wanita itu tanpa keraguan.
Wanita itu membelalakkan matanya dan kembali menarik rambut Yara hingga gadis itu mengeluarkan air matanya. Tak ada yang bisa menolong Yara. Semua pelayan di rumah itu hanya bisa menatap khawatir pada nona-nya.
"Kau berani rupanya."
Plak!
"Katakan sekarang, berapa pin berangkas sialan itu!" teriak wanita itu seraya menarik rambut Yara lebih kuat. Yara tetap menutup rapat-rapat mulutnya. "Bantu aku putriku, agar aku tak menyiksamu lebih lama lagi. Aku sebenarnya juga tak ingin melakukan hal ini padamu. Tapi, kau menginginkannya."
Wanita itu melepaskan genggamannya pada rambut Yara dan berdiri dari hadapan gadis itu. Yara menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan. Sakit di kepalanya mulai bereaksi kembali.
Yara mengangkat kepalanya dan menatap para pelayannya yang hanya memberikan tatapan simpati. Ia tersenyum dan hal itu sukses membuat beberapa pelayannya menangis. Mereka ingin berlari ke sana dan memeluk erat Yara. Tapi, apa daya mereka yang terikat dengan tali tambang di setiap sudut ruang tamu itu.
"Jika kau tetap ingin membisu, maka terimalah hadiah dariku ini."
Wanita itu mengangkat tinggi-tinggi sebuah piring besar dan bersiap untuk melambungkannya. Ia tersenyum sebelum akhirnya melepaskan piring itu dengan kepala Yara sebagai titik sasarannya.
"Nona!"
*****
Jiyeon menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur empuknya. Matanya menatap lurus pada langit-langit kamar, membayangi wajah Sehun dan Hyomin yang kecewa akan perbuatannya.
"Aku pulang!"
Jiyeon bangkit dari tidurnya dan bisa ia rasakan jantungnya berdetak sangat kuat. Tangannya menjadi dingin seketika mendengar langkah kaki yang kian mendekat ke kamarnya.
"Kau belum tidur?"
Jiyeon tersentak kaget mendengar suara kakaknya yang begitu jelas. Ia tersenyum kikuk seraya merapikan ikatan rambutnya yang agak berantakan. Hyomin yang tampak sedikit kacau di ambang pintu, berjalan mendekati Jiyeon.
Hyomin menatap Jiyeon sejenak, memperhatikan keadaan adiknya dari atas ke bawah. "Apa telah terjadi sesuatu selama aku pergi?"
Jiyeon mengulum bibirnya dan menggeleng ragu. Ia hanya tak ingin membuat kakaknya khawatir. Hyomin merubah tatapan lembutnya menjadi tatapan mengintimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Prince ✔
Fanfiction"Selamat pagi, Tuan Putri.." "Berhenti memanggilku seperti itu!" teriak Jiyeon sambil melemparkan sebuah bantal ke arah pelayannya. Jiyeon adalah majikannya yang dingin, tapi sebenarnya manja. Ia sangat senang mengusili Jiyeon, bahkan sejak merek...