"Masuklah nona, disini sangat dingin."
Lagi-lagi suara itu tak ia hiraukan. Kedua telapak tangannya masih saja saling menyapu satu sama lain, membuat bibi Han yang sedari tadi menunggunya di belakang tak bisa berhenti mengkhawatirkannya. Park Jiyeon memanglah gadis yang keras kepala.
"Masuklah bibi, disini sangat dingin." ujar Jiyeon dengan mengikuti nada bicara pelayannya itu.
Bibi Han menghembuskan nafasnya kembali. Ia memang sudah cukup tua, tapi bukanlah masalah baginya berada di tengah-tengah hawa sejuk seperti malam ini. Ia memang cukup pintar, tapi sayangnya tak pernah dapat mengerti dengan jalan pikiran majikannya yang satu ini.
Jiyeon yang tengah duduk santai di tangga teras rumahnya sambil bersenandung ria, menoleh sesaat ke belakang. Seraya tersenyum tipis untuk menenangkan pelayannya, ia memberi isyarat dengan gerakan kepala agar wanita paruh baya itu segera masuk ke dalam rumah.
Sudah satu jam ia berdiri di belakang Jiyeon, hanya untuk memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Sebenarnya masih banyak lagi yang harus ia kerjakan, tapi baginya keadaan majikannya sepuluh kali lipat lebih penting dari tugas-tugasnya yang terbengkalai.
"Masuklah bibi atau aku akan marah padamu." ancam Jiyeon tanpa menoleh lagi pada bibi Han. Wanita itu mencebikkan mulutnya sebelum masuk ke dalam rumah, meninggalkan Jiyeon yang terlihat baik-baik saja.
Sekali lagi gadis itu mendongak menatap kilauan cahaya di langit-langit malam. Ia tersenyum, bukan senyum bahagia tapi senyum penuh kesenduan. Sebelum ia mendatangi tempat ini, ia sudah memantapkan hatinya untuk persiapan kalau-kalau nanti ia bertemu dengan Sehun.
Jiyeon, duduk di tempat itu untuk menunggu Sehun pulang. Satu jam mungkin terdengar lama, tapi tidak untuk seorang Jiyeon. Satu jam adalah enam puluh menit, begitulah definisi waktu yang Jiyeon tempuh hanya untuk menunggu seorang Sehun pulang. Namun sejak kemarin, ia sama sekali tak melihat batang hidung pria itu.
Tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang menutupi punggung dan bahunya. Jiyeon menoleh dan mendapati bibi Han yang tengah berusaha membenarkan letak selimutnya. Jiyeon segera memeluk wanita itu sehingga membuatnya hampir terjungkal ke belakang.
"Terima kasih, bi." ucap Jiyeon seraya melepaskan pelukannya. Kini ia beralih untuk menutupi bagian depannya juga. Benar-benar mampu membuat tubuhnya menjadi hangat.
"Nona yakin tak ingin menunggu di dalam?" Tanpa berpikir sekali lagi Jiyeon langsung mengangguk mantap, membuat bibi Han menghembuskan nafasnya pasrah.
Jiyeon mencoba untuk tetap mengukir senyuman di wajahnya, walaupun saat ini pikiran dan hatinya masih dipenuhi ketidakpastian. Dapat ia rasakan hawa dingin yang masih bisa menembus selimut tebalnya. Tapi bagaimanapun juga tetap saja ia adalah Jiyeon yang keras kepala.
"Jatuh cinta? Sejak kapan?"
Jiyeon sedikit tersentak dibuat si empunya suara. Hyomin terkikik kecil sebelum berjalan mendekat dan duduk di sisi gadis itu. Jiyeon menoleh dan Hyomin menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum menggoda.
"Sebenarnya kemarin Sehun pul-"
"Dari mana eonnie tahu? Mengapa eonnie tidak bilang? Kapan dia pulang? Kenapa aku tidak bertemu dengannya?" potong Jiyeon dengan raut panik. Hyomin jadi ingin tertawa melihatnya.
"Jadi, kau tidak ingin jujur padaku?" tanya Hyomin, mengalihkan topik pembicaraan. Dengan wajah sedikit kesal, Jiyeon langsung berbalik ke posisi awalnya. "Baiklah, aku tidak akan bercerita tentang Sehun."
Jiyeon kembali duduk menyamping, menghadap kakaknya. Hyomin tersenyum penuh kemenangan. "Ya. Sekarang ceritakan tentangnya."
"Apa maksudmu dengan 'ya'?" Hyomin kembali menaik-turunkan sebelah alisnya. Jiyeon mendengus sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Prince ✔
Fanfiction"Selamat pagi, Tuan Putri.." "Berhenti memanggilku seperti itu!" teriak Jiyeon sambil melemparkan sebuah bantal ke arah pelayannya. Jiyeon adalah majikannya yang dingin, tapi sebenarnya manja. Ia sangat senang mengusili Jiyeon, bahkan sejak merek...