memuat konten sensitif, R18+- the angel suddenly cried and it hurts me
Kembali terbangun di ranjang apartemen tak ayal membuat Park Jimin bingung. Seingatnya, tepat tengah malam 13 Oktober di tahun 22XX itu, dia sudah mengakhiri hidup dengan terjun bebas dari balkon apartemennya.
Bahkan kedua mata masih dapat menangkap keadaan langit hitam diluar kaca satu arah balkonnya. Apartemen ini memang kecil dan sempit, tanpa sekat selain pemisah seluruh ruangan dengan kamar mandinya yang kecil. Lebih cocok jika disebut sebuah kamar dengan dapur kering di dalam, karena ukurannya memang mungil sekali.
Maklum saja, hunian memang tidak sebanding dengan jumlah manusia, terlebih di ibukota. Meski beberapa tahun terakhir sudah terjadi penurunan jumlah penduduk yang signifikan termasuk di Uni Korea, tapi Jimin pikir dia tidak merasakan adanya dampak sama sekali. Langit siang hari masih terlihat kusam, sudut matanya selalu ditinggali debu meski angin hanya menyapa sekilas. Kalau malam beda lagi, langit terhampar bak permadani hitam, gelap, tanpa ada bercak bintang sama sekali. Polusi di atmosfer sudah keterlaluan banyaknya dan bagi Jimin, itu semua sudah lebih daripada cukup untuk jadi alasannya tidak memperpanjang hidup.
Lagipula, sejak awal dirinya sudah tinggal sendirian. Keluar dari buai panti asuhan pemerintah di usia legal, hidup pas-pasan cenderung susah sampai akhirnya Jimin menapak di puncak lelah. Dia mau mati saja ... tapi kenapa malah masih sadar dan berada disini? Apa skenario bunuh diri itu hanya berlangsung dalam kepalanya? Jadi dia bermimpi?
Padahal Jimin ingat betul gemuruh angin yang memenuhi kepalanya begitu melompat tadi.
"Ini aneh," Jimin terlentang, menatap langit-langit rendah berwarna putih gading. Dia yakin sekali ada kesalahan disini, tapi apa? Tubuh dibawa berguling ke sisi berlawanan dan Jimin sontak terkesiap. Ada orang bersayap sedang melihatnya di sana.
Iris cokelat gelap Jimin tersembunyi karena pupilnya membesar penuh antusias. "Wow ... aku benar-benar sudah mati." Bergegas bangkit lalu duduk bersila, dia perhatikan pemuda jangkung bersayap yang tak kuasa menyembunyikan tawa.
"Jimin-ssi, aku malaikat mautmu. Kau akan meninggal sekitar 5 menit lagi karena benturan parah sehabis menjatuhkan dirimu dari sana," dagunya mengedik ke arah balkon. "dan sebelum perjalanan yang akan kau tempuh, aku butuh bantuanmu." Dia mengulurkan sebelah tangan pada Jimin. "Mari, ikuti aku."
Dengan alis berkerut, Jimin memandang penuh manik bulat besar milik pemuda bersayap putih. "Aku tidak mau mengikuti seseorang yang tidak kukenal." Tawa malaikat itu mengalun lembut membuat gigi depannya yang besar nampak, menular sampai Jimin terkekeh pelan.
"Baiklah, baik, kau bisa memanggilku Jeongguk." Telapak pemuda itu Jimin jabat dengan yakin, lalu tiba-tiba saja Jeongguk tak terlihat lagi. Transparansi mengular dari pertautan mereka sampai Jimin melihat sendiri kalau tangannya turut menghilang. Tapi jabatannya pada tangan Jeongguk sangat jelas terasa. Dia terkesima.
Tahu-tahu, mereka sudah ada di luar gedung apartemen Jimin, tepat pada area taman yang memisahkan antar tower bangunan. Keren, kelopak mata Jimin berkedip antusias. "Kau lihat malaikat disana, Jimin-ssi?" Mengikuti arah pandang Jeongguk, dia mendapati seseorang bersayap putih lain tengah tertunduk dengan bahu bergetar. Apa yang tengah dia lakukan? Itu tubuhku, bukan?
Sayap yang putih bersih terentang mengukung sesuatu, bisa Jimin lihat ada likuid kemerahan mengalir lambat di celah antara sayap itu dengan permukaan paving. Bahunya terus bergetar seperti tengah menangis. Kenapa dia menangisi tubuhku? Jimin mengulum bibir, menatap Jeongguk penuh pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ficlet 2 [VMIN]
Fanfic[ONESHOT COMPILATION] Ficlet: istilah bagi cerita yang lebih panjang dari drabble, namun tidak sepanjang oneshot biasanya. Word count; 500-1500 kata per part. SEMUANYA MATURE RATED Konsep sama seperti FICLET 1 | NEVER ENDING BOOK ❤️ [✓] berarti cer...