D E V O N

573 29 0
                                    

Mami menghentikan pekerjaannya, mengayak terigu. Ia menatap lekat ke dalam netra putranya yang masih berusia enam belas tahun itu. Ia seperti sedang mencari kepastian, apakah ucapan anaknya sekadar gurauan atau keseriusan?

"Menikah?" tanya Mami, untuk memastikan.

"Iya, Mi." Devon mengangguk.

"Kalian masih sekolah." Mami mengembuskan napas. Ia . mencoba menetralkan pikirannya.

"Devon tau, Mi. Tapi ... Devon cuma mau membuat Lia tersenyum. Kata dokter usianya ... tidak lama lagi."

"Dokter bukan Tuhan!" sergah Mami.

"Iya .... hanya saja, Devon ingin mengukir kenangan indah di sisa waktunya."

Mami kembali menatap putranya. Dia pikir menikah itu gampang? Dia pikir ini di negeri dongeng? Apalagi mereka masih sekolah ... Ah, ada- ada saja keinginan anak remajanya itu.

"Terserah kamu, deh. Kamu udah aqil baligh ... bukan anak- anak." Wanita berbadan langsing itu tampak pasrah.

Devon memeluk maminya, mengucapkan terima kasih karena sudah memberi persetujuan dan kepercayaan padanya dalam mengambil keputusan.

Impiannya adalah menikah dengan Kamelia. Mereka sudah jatuh cinta saat di bangku sekolah tingkat pertama. Lia, begitu nama panggilannya adalah gadis dari keluarga kaya raya, tapi sangat rendah hati. Feminim dan sangat santun dalam bertutur. Andai ia sehat, tentu Devon akan melamarnya nanti ketika mereka selesai kuliah.

Namun, itu berubah. Saat usia lima belas tahun, Lia divonis mengidap kanker. Mendung senantiasa terlukis di wajah gadis itu. Sering menangis meski keluarga dan sahabatnya selalu menyemangatinya.

Lia mengubur mimpi- mimpinya. Soal kuliah, soal kerja, dan soal ... pernikahan.

Devon ingin membuat gadis itu bahagia dengan mewujudkan satu mimpinya yaitu menikah.
Konyol dan aneh? Ya ... tapi bagi Devon, tidak.
Ide aneh itu pun bersambut oleh Lia dan kedua orang tuanya. Cinta macam apa yang ia rasakan hingga begitu nekad menikah di usia sekolah?
Yang ada di benak Devon adalah bisa mengukir senyum di wajah gadis yang ia cintai, bisa sedikit mengembalikan binar ceria di mata Lia.

Dan ...pernikahan yang hanya dihadiri pihak keluarga dan sahabat Devon itu akhirnya tertunaikan. Hanya akad di hadapan penghulu. Janji suci itu terucap diiringi isak haru dari kedua orang tua mereka.

Pernikahan dini yang terasa aneh. Bukan karena mereka melakukan hubungan terlarang, tapi ... semata- mata karna cinta.

Hari- hari mereka lalui bersama. Terkadang tidur di rumah Mami, kadang di rumah orang tua Lia.

Devon juga menemani istrinya berobat dan memberinya ketenangan di saat rasa sakit di tubuh ringkih itu tengah menyerang tanpa ampun.
Kadang tertawa bersama, kadang menangis bersama.

Devon tetap ke sekolah, melakukan kewajibannya sebagai pelajar. Sementara Lia sudah berbulan- bulan tak sanggup lagi ke sekolah. Ia duduk di kursi roda karena tubuhnya melemah.

Apakah mereka melakukan hubungan selayaknya suami istri? Tidak ... itu tidak terjadi. Kondisi fisik Lia yang membuat Devon menahan diri. Tidur di sisi gadis itu, dengan mengecup dan mengusap kepalanya ... hanya sebatas itu. Tapi hubungan mereka terikat dalam kehalalan.

Tepat tiga bulan pernikahan mereka. Pagi itu, seperti biasa Devon sudah mengenakan seragam putih abu- abunya, bersiap- siap ke sekolah. Tapi entah mengapa, hari itu Lia memohon agar Devon jangan pergi. Akhirnya, ia membolos.

Devon meletakan kepala istrinya yang sudah tak bermahkota lagi di dadanya. Mereka duduk di sofa kamar Lia, menghadap ke arah pintu balkon yang terbuka, menikmati langit dan awan yang terlihat begitu cerah. Membiarkan angin menyapa wajah mereka.

D E V O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang