Pasrah ... satu kata yang menimbulkan dua makna. Boleh jadi menyerah tanpa berani berharap atau bisa pula diartikan sebagai bentuk penyerahan diri kepada Zat Yang Maha Agung, membiarkan Dia yang menentukan takdir disertai doa yang penuh penghambaan juga secercah harap.
Membiarkan sang waktu terus berlalu tanpa mempedulikan manusia itu tertatih atau berlari mengikuti perputarannya. Ia hanya berjalan sesuai titahNya tanpa tawar menawar. Maka, berpandailah manusia untuk melewati waktunya. Jangan sampai setiap detik kehidupan hanya dilalui dengan hal yang sia- sia.
Khansa perlahan mencoba memperbaiki shalatnya. Menurut buku dan artikel yang beberapa waktu lalu ia baca, bahwa jika ingin memperbaiki diri maka mulailah dengan memperbaiki shalat.
Satu hal lagi yang membuat gadis itu tergelitik, soal jodoh. Di mana tertulis bahwa jodoh akan sesuai dengan prilaku, tempat pergaulan, dan juga level keimanan. Jadi, jika ingin yang sholeh atau sholehah berkacalah pada diri. Karena jodoh itu cerminan diri.
Khansa melangkah meninggalkan kelas, ujian yang sudah berjalan dua hari ini cukup membuat pening kepalanya. Karena belajar sambil bekerja itu, tidak mudah. Namun, disitulah letak kenikmatannya. Harus pandai mengatur waktu dan itu cukup membuat Khansa merasa disiplin.
"Gimana, lancar ngerjain soal ujian tadi?" Devon berjalan di sisi Khansa.
"Lancar dong," sahut Khansa semangat. Padahal soal poetry dan english journalism cukup membuat otaknya berputar-putar.
"Mudahan dapat A semua, ya."
Khansa terbahak." Aamiin," sahutnya.
"Aisyah mana, ya?" Devon menggerakan bola matanya ke arah kelas fakultas ekonomi yang sudah sepi.
Entah ada sedikit rasa iri menyelinap di hati Khansa. Devon selalu perhatian pada Aisyah."Apa sudah pulang?" Devon bergumam.
Mereka terus melangkah bersama sedikit mengatur jarak tentunya. Devon baru menyadari sejak menegur Khansa soal parfum beberapa pekan lalu, aroma yang menyengat indra penciumannya kini tidak ada lagi. Sepertinya nasehat dadakan itu cukup ampuh.
"Aise!" Boy berdiri di depan Khansa dan Devon.
"Ishhh, ngapain dia ke sini?" Khansa menggerutu, kurang suka dengan kehadiran Boy.
"Gak usah manyun gitu. Harusnya lo seneng dijemput calon suami!" Kata Boy.
Khansa membulatkan matanya, karena kesal Boy menyebut kata calon suami. Beberapa orang yang ada di sekitar tempat parkir memperhatikan Khansa dan Boy.
"Malam, Pak dosen," sapa Boy kepada Devon sambil cengar cengir.
Devon hanya tersenyum.
"Tadi ketemu Aisyah, tuh udah naik motor!" Boy menunjuk ke arah gadis berjilbab biru yang sudah duduk di motornya.
"Kamu godain dia?" Devon menyipitkan matanya.
"Biasalah itu ... habis gemes kalo godain Aisyah. Diam dan nunduk aja. Gak kaya yang onoh, bawaannya marah- marah kalo gak, main gigit." Boy menyindir Khansa.
Devon tertawa, sementara Khansa mangerucutkan bibirnya.
"Yuk, pulang. Gue mau kasih liat elo sesuatu," ujar Boy.
"Udah jam sembilan gini, gak bisa besok aja? Mau kasih liat apaan?"
"Ada deh, kalo besok mana bisa. Sibuk kerja."
Khansa melirik Devon, entah kenapa harus melihat lelaki itu dulu seperti ingin meminta ijin saja.
"Jangan kemalaman Boy, gak baik," kata Devon." Udah ya, aku mau balik. Kasian Aisyah sendirian di jalan. Sampai ketemu di rumah, Boy! " Devon pergi meninggalkan Khansa dan Boy yang terus saja berbicara dibumbui pertengkaran konyol.
KAMU SEDANG MEMBACA
D E V O N
General FictionKehilangan orang- orang yang dicintainya, membuat ia merasa sepi. Hingga akhirnya ia berjumpa dengan mahasiswi nya yang bermata biru kehijauan itu. Ada semangat baru dalam dirinya.