D E V O N

380 27 7
                                    

Ya sudahlah, apapun yang Allah berikan adalah yang terbaik. Untuk apa terus berada dalam pusara kegalauan yang seakan tak bertepi. Jalani saja takdirmu dengan kesungguhan hati, maka bahagia pun kelak akan kau dapatkan.

Biarlah cinta yang tak sempat terucap, tersimpan selamanya di hati. Memendamnya sedalam mungkin. Percayalah jodoh itu takkan salah sasaran.

Namun, terkadang manusia kerap lupa bahkan memaksa diri bahwa jodohnya harus dia yang dicintai. Boleh jadi kita berpikir dia baik untuk kita tapi, ternyata tidak bagi Sang Pemilik Jiwa. Atau boleh jadi kita berpikir bahwa itu buruk untuk kita tapi, justru itu baik menurut Sang Penentu Takdir.

Dari pada terus larut pada hati yang koyak, Devon mencoba untuk mulai berpikir soal jodohnya. Saat ini, ada dua wanita yang dekat dengannya. Aisyah dan Amelia.

Keduanya adalah sosok yang memiliki kelebihan masing-masing. Devon mulai memikirkan perkataan Boy atau orang- orang di sekelilingnya mengenai Aisyah. Walau, ia ragu karena  baginya Aisyah hanyalah adik. Sementara Amelia, adalah sosok yang dulu pernah mengukir hatinya dengan cinta. Kini, wanita itu dalam posisi sedang berjuang demi anaknya.

"Tinggal pilih, Aisyah atau Amel?" Boy duduk di kursi berhadapan dengan Devon.

"Gak tau," sahut Devon, datar.

"Ah, elo mah kebanyakan mikir." Boy menyeruput kopi hangat yang ada di meja makan.

"Ya harus mikirlah, Boy. Ini soal pernikahan, gak main-main. Jadi, harus dipikrkan dengan matang," ujar Devon sembari menikmati roti bakar.

"Terserah elo, deh. Pokoknya gue dukung siapa pun yang mau elo pilih. Asal jangan tunangan gue," ujar Boy dengan derai tawa.

Devon tersenyum tipis. Pikirannya melayang pada Khansa. Kemudian ia tersadar terlena oleh pikirannya akan bayang Khansa. Ia menggelengkan kepala, mengusir sosok cantik itu dari benaknya.

"Entar nikahan gue, elo harus datang. Soal tiket gak usah elo pikirin. Gue yang nanggung."

"Kalo gak sibuk."

"Ah, elo kudu hadir!" Boy seperti memaksa.

Devon hanya diam sambil terus memakan roti bakarnya.

******
Selesai shalat magrib, Khansa duduk berdua dengan Aisyah di mushalla yang mulai sepi karena seusai shalat para mahasiswa banyak yang memilih pergi ke kantin untuk mengisi perut yang lapar karena seharian bekerja.

"Ini, buku buat kamu!" Aisyah menyodorkan sebuah buku tentang rumah tangga kepada Khansa.

"Buat aku?" Khansa terlihat senang. Aisyah mengangguk. Dengan segera gadis itu menyambut buku tersebut. Masih tersegel rapi.

"Gak sempat dibungkus, tadi buru-buru soalnya."

"Gak masalah," sahut Khansa." Makasih ya."

Aisyah tersenyum, seakan ia ikut bahagia melihat Khansa sangat antusias menerima hadiah darinya.

"Aku akan belajar jadi istri yang sholeha. Cinta sih, bisa datang seiring berjalannya waktu," ujar Khansa penuh kepasrahan.

"Kamu hebat, usia muda udah mau nikah," ujar Aisyah sembari beranjak dari duduknya. Ia menggantung mukena yang tadi dikenakan saat shalat ke dalam almari.

"Terus, kamu kapan?" Khansa menatap Aisyah.

"Apanya?"

"Nikahlah."

Aisyah tertawa kecil. Pikirannya melayang kepada Devon.

"Nunggu Pak Devon ngelamar, ya?" Khansa mencoba menebak isi pikiran Aisyah.

D E V O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang