Bocah kecil itu membuka pintu lalu senyum mengembang di wajah polosnya.
"Hai, Arya!" Devon berjongkok di depan bocah enam tahun itu.
"Om Devon, bawa apa?" Matanya memandangi kantung plastik yang sedang berada dalam genggaman Devon.
"Ini, kepiting asam manis dan sayur cap cay untuk Arya. Suka kepiting gak?"
"Suka," sahutnya antusias.
Amel hadir di belakang Arya, memulas sedikit senyum kepada Devon.
"Ini, selamat menikmati bersama ibu." Devon menyerahkan kantung plastik di tangannya. Dalam sekejap sudah berpindah tangan. Arya memegang erat kantung plastik berisi makanan itu.
"Terimakasih Devon," ucap Amel." Gak perlu serepot ini, mana hujan gini." Amel memandang pakaian dan celana Devon yang sedikit basah. Hujan masih saja mengguyur bumi.
"Gak pa-pa, nyantai aja," ujar Devon. Ia paham sekali rasanya hidup tanpa ayah. Pernah ia merasakan lapar karena mami tak punya cukup uang untuk membeli makanan. Walau saat itu, ia sudah duduk di sekolah menengah pertama. Tetap saja, menyedihkan. Apalagi Arya, masih kecil harus hidup tanpa ayah meskipun, masih hidup ia harus menelan kepahitan akibat perceraian.
Devon berdiri dan menatap Amel beberapa detik, wanita itu tampak sungkan.
"Aku pulang dulu, ya."
"Gak duduk dulu, biar aku buatin teh hangat."
"Gak usah, makasih."
Devon mengusap kepala Arya dengan lembut. Bocah itu tersenyum.
"Makan yang banyak ya, jagoan!"
"Iya om, makasih ya," ucap Arya.
Devon mengucapkan salam kemudian pergi dari rumah kontrakan Amel. Arya dan Amel memandangi kepergian Devon diantara rinai hujan yang semakin menggila hingga lelaki itu menghilang dari pandangan mereka.
Rasa yang dulu pernah hadir, seakan terbangkitkan lagi. Namun, Amelia merasa harus tahu diri. Tak pantas ia berharap Devon kembali melabuhkan hati untuk dirinya.
******
Udara begitu terasa dingin, sisa-sisa air hujan semalam masih menempel di dedaunan. Jalan-jalan tanpa aspal masih terlihat becek.Devon berkali-kali bersin. Ia terbaring di ranjang, menyelimuti tubuh yang sedikit menggigil dengan selimut. Wajahnya sayu dan hidung mancung itu tampak merah.
Boy masuk ke kamar sahabatnya itu. Melihat Devon meringkuk di bawah selimut. Ia memegang kening Devon dengan punggung tangannya. Terasa lebih hangat.
"Sakit lo?"
"Menurutmu?"
"Elaaah, masih aja becanda."
Devon tersenyum kecil.
"Mau minum obat? Atau ke dokter?"
"Gak usah," sergah Devon. " Aku cuma butuh istirahat. Tadi udah minum madu dan jeruk lemon," kata Devon.
"Kalo butuh obat, bilang ke gue."
"Iya, makasih."
"Gue telponin Aisyah? Biar lo cepat sembuh, kali ada dia flu elo ilang." Boy senyum menggoda.
"Apaan, sih."
"Atau Amel yang lebih pengalaman?" Boy terkekeh.
"Ngeledek aja!" Devon ingin melempar guling ke wajah Boy tapi, tidak jadi.
*****
Khansa menatap ruangan yang ada di dekat dapur kedai. Membayangkan Devon ada di sana, biasanya pria itu datang dan langsung shalat dhuha dulu sebelum membantu para pekerjanya melayani pengunjung.
KAMU SEDANG MEMBACA
D E V O N
General FictionKehilangan orang- orang yang dicintainya, membuat ia merasa sepi. Hingga akhirnya ia berjumpa dengan mahasiswi nya yang bermata biru kehijauan itu. Ada semangat baru dalam dirinya.