D E V O N

417 22 0
                                    

Setiap melangkah di selasar gedung yang didominasi cat berwarna putih ini, hati Devon seakan gerimis dan sedikit sesak. Bayangan sebelas tahun lalu itu berkelebatan diingatannya. Berlari dalam kepanikan yang luar biasa. Dan ... berakhir di ruang jenazah, menatap pilu dua jasad yang terbujur kaku penuh bekas luka. Sebisa mungkin ingin jauh dari tempat ini, karena kerap membangkitkan kenangan pilu itu.

Namun, malam ini ia harus beranikan diri ke rumah sakit, tempat yang sama di mana mami dan adiknya ia jumpai terakhir kalinya. Demi wanita yang sudah ia anggap sebagai pengganti mami. Dan juga demi Aisyah, tentu tak tega membiarkan gadis itu pergi sendirian membawa ibunya ke rumah sakit.

Ibu Aminah kini sedang ditangani dokter. Aisyah duduk di kursi tunggu, ditemani Devon dan Boy.

Tak ada kata yang terucap diantara mereka. Aisyah hanya tertunduk, kedua matanya merah, beberapa kali terlihat ia mengusap sudut matanya dengan jemari.

Devon yang duduk berjarak satu bangku dengan Aisyah, hanya mampu menatap dengan rasa sedih. Andai boleh, ia ingin memeluk gadis yang selama ini seperti adik baginya, mungkin bisa meringankan sesak di dada gadis itu. Namun, itu tak mungkin. Aisyah bukan mahramnya. Hanya adik angkat saja.

Boy pun sejak tadi hanya diam, sibuk dengan ponselnya. Ia sedang memasang pengumuman orang hilang di akun facebooknya. Foto Aise terpajang di sana. Berharap cara tersebut bisa membantu menemukan gadis berambut coklat itu secepatnya.

Dokter yang menangani ibu Aminah ke luar dari ruang IGD. Aisyah langsung menghampiri sang dokter, Devon dan Boy pun berdiri di dekat Aisyah mendengarkan penjelasan lelaki berjas putih dengan rambutnya yang sebagian berwarna senada dengan jas yang dikenakannya.

"Bagaimana ibu saya, dok?" tanya Aisyah.

"Alhamdulillah, karena cepat dibawa kemari, kondisinya cepat teratasi dengan baik."

Aisyah berucap syukur. Ada kelegaan di wajahnya yang sembab.

"Nanti akan dipindahkan ke ruangan rawat inap. Sekarang, jika ada yang ingin menengok sudah boleh. Tapi bergantian," jelas sang dokter. Kemudian ia pergi dari hadapan mereka.

"Aku ... lihat ibu dulu, ya."
Aisyah menoleh ke arah Devon dan Boy.
Dua lelaki itu mengangguk. Lalu gadis itu masuk ke ruang IGD.

*****
Honda civic itu berhenti di halaman di tempat kos khusus putri.

"Oke, makasih sudah diantar," Khansa melepaskan sabuk pengamannya.

"Kapan- kapan kita nge-date lagi, ya," ucap Hendrik.

Khansa menggerakan bola matanya sambil mendengus.

"Jangan sering- sering. Saya gak enak sama teman- teman di kantor," kata Khansa.

"Gak usah peduliin apa kata mereka. Lagian, aku ini single. Jadi ... gak masalah kan?"

Hendrik menatap Khansa di bawah sinar lampu mobil yang redup.

"Tetap aja, kena gosip," ujar Khansa.

"Cuekin aja."

"Mereka mikir saya cari kesempatan."
Nada bicara Khansa agak ketus. Tapi  Hendrik tak pedulikan itu. Ia tetap saja cengengesan.
Membuat Khansa mual.

"Baru juga saya dua bulan kerja di tempat anda. Tapi kok, anda ...."

"Karena saya suka sama kamu sejak pertama kali datang untuk interview," ujar Hendrik.

Khansa menghela nafas, hal biasa yang sering ia dengar dari para lelaki yang ingin mendekatinya. Selalu karena pertama kali melihat dirinya. Bosan dengarnya.

D E V O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang