Khansa menatap Boy yang berdiri di hadapannya. Pria bermata elang itu tersenyum lalu melangkah mendekati Khansa.
"Cincin pernikahan elo." Boy membuka kotak bludru berwarna merah di tangannya. Sebuah cincin emas dengan permata putih berkilauan. Khansa bergeming. Bingung, harus senang atau sedih?
"Ulurkan tangan elo. Biar cincinnya bisa disematkan di jari elo," pinta Boy dengan suara lembut.
Tante Laila memandangi mereka dengan mata berkaca-kaca.
Perlahan Khansa mengulurkan tangan kanannya. Tampak gemetar jemari-jemari lentik itu.
Boy mengeluarkan cincin dari kotak bludru. Kemudian ia menghela napas. Suasana terasa menegangkan.
"Bukan gue yang pasang cincin ini ke jari elo. Tapi, suami elo. Devon ...." Boy menghembuskan napasnya, menatap ke arah pintu.
Khansa bingung dengan ucapan Boy.
"Ma-maksud kamu?"
Devon masuk ke kamar itu. Menyeret langkahnya menghampiri Boy. Ia menerima cincin dari tangan Boy.
"Dia istri elo sekarang. Selamat ya, bro!" Boy menepuk pundak Devon.
"Terimakasih, ya," ucap Devon dengan wajah haru kepada Boy, sahabat yang telah mengorbankan kebahagiaannya untuk dirinya.
Boy tersenyum, kemudian mengajak ibu tirinya pergi dari kamar, meninggalkan Devon dan Khansa yang masih mematung.
Terdengar suara pintu ditutup.
Hening beberapa saat. Saling menatap, menetralkan pikiran yang masih terasa sulit menerima kenyataan.
Perlahan akhirnya Devon mendekati Khansa, menyentuh jemari halus itu. Lalu menyematkan cincin pernikahan ke jari manis istrinya. Cincin yang beberapa waktu lalu ia pilih karena permintaan Boy. Rupanya pria itu sudah merencanakan semua ini. Ia sengaja membuat kejutan untuk dirinya dan Khansa.
Cincin itu telah tersemat di jari Khansa. Gadis itu sangat gugup. Apalagi saat Devon semakin mendekat dan menyentuh tengkuknya, lalu membacakan doa dengan lembut di dekat pucuk kepalanya. Jantung mereka terpompa tak karuan. Tanpa terasa tetesan-tetesan bening berjatuhan membasahi wajah Khansa.
Usai membaca doa untuk istrinya. Devon menarik tangan Khansa agar berdiri dari duduknya. Kini mereka saling berhadapan dan netra mereka terus memandang lekat. Napas Devon terasa hangat di wajah Khansa. Kedua tangan mereka saling menggenggam. Gemetar.
Perlahan Devon mengusap air mata istrinya dengan ibu jari. Getaran itu semakin menggila, ini pertama kali menyentuh Khansa dan menatapnya dengan dekat.
"Mimpikah ini?" tanya Khansa dengan bibir gemetar. Devon menggeleng pelan sembari tersenyum melihat wajah gadis yang selalu mengusik pikirannya.
Khansa kembali menangis. Devon meletakan kepala gadis itu di atas dadanya. Mendekap erat dan membiarkan Khansa menangis sepuasnya.
"Jodoh takkan ke mana. Sejauh apapun kita berlari, jika Allah mentakdirkan maka akan tersatukan juga dalam ikatan suci pernikahan," ujar Devon.
"Setengah mati menahan diri, menutupi luka. Pasrah, dan meyakini bahwa Allah akan memberikan yang terbaik. Dan ... ternyata seperti ini cara Dia menyatukan kita."
Khansa mengurai pelukan suaminya. Menghapus air mata dengan telapak tangan.
"Pak, saya ...."
Devon meletakan telunjuknya di atas bibir ranum itu, membuat Khansa berhenti berucap.
"Aku mencintaimu Khansa." Kalimat yang selama ini tertahan akhirnya terucapkan.
Mendengar ucapan Devon barusan, rasanya Khansa ingin terbang ke angkasa. Melayang bebas dan ingin memberi tahu kepada seluruh alam semesta bahwa ia sangat bahagia hari ini.
Wajahnya merona merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
D E V O N
General FictionKehilangan orang- orang yang dicintainya, membuat ia merasa sepi. Hingga akhirnya ia berjumpa dengan mahasiswi nya yang bermata biru kehijauan itu. Ada semangat baru dalam dirinya.