D E V O N

415 28 2
                                    

Entah, tatapan mereka yang tak sengaja bertemu di dalam kaca mobil menghadirkan getar-getar aneh. Aisyah dengan cepat membuang pandangannya ke luar jendela, memandangi jalan yang sunyi. Boy pun sedikit salah tingkah. Selama perjalanan, mereka berdua lebih banyak diam.

Dan akhirnya,
Aisyah pulang dengan selamat. Boy menjelaskan apa yang dialami Aisyah kepada ibu Aminah. Tentu saja wanita itu kaget tapi, ia juga tetap bersyukur karena putri semata wayangnya selamat. Tak lupa ia berterima kasih kepada Boy yang sudah menolong Aisyah.

*****
Devon berkali-kali membalik badan di atas tempat tidur. Ia tampak gelisah. Sulit memejamkan mata. Akhirnya ia bangun dan pergi untuk berwudhu.

Ada ketenangan saat menghadap Sang Pencipta disunyinya sepertiga malam. Menghaturkan doa-doa dan mengiba di hadapanNya. Memohon semoga mendapatkan jodoh yang baik dan memantabkan hati untuk memilih.

*****
"Makasih ya, udah bantu Aisyah," ucap Devon saat sarapan bersama Boy.

"Yoi," sahut Boy sembari meneguk jus jeruk.

"Nyesel aku gak nemanin dia." Ada rasa bersalah. Selama ini ia bersumpah untuk menjaga Aisyah. Tapi, beberapa malam  sehabis mengajar ia lebih memilih pergi untuk melihat Arya. Entah ia semakin dekat saja dengan bocah itu.

"Jadi ... siapa yang bakal elo lamar?" Boy meletakan gelas berisi jus yang ada di tangannya ke atas meja. Devon sedikit kaget, tersadar dari lamunannya.

Untuk beberapa saat Devon terdiam. Ia mengunyah pan cake yang tadi ia olah. Tampak bingung.

"Aisyah apa Amel?" Boy menatap Devon dengan serius.

"Liat entarlah," sahut Devon, datar.

"Dua-duanya juga boleh kok. Kan batasnya sampe empat." Kali ini Boy terkekeh.

Devon mendengus sambil mendelik ke arah Boy.

"Nyuruh aku poligami? Ngaco aja," kata Devon.

"Kan gak pa-pa. Dari pada bingung, mending dua-duanya elo nikahin. Asoy kagak tuh!" Boy terbahak. Devon hanya tersenyum tipis sembari menggelengkan kepala.

"Ah, udah. Dari pada pusing. Buruan makan, temanin gue ke toko perhiasan."

"Ngapain ngajak aku?"

"Karna elo sohib gue. Jadi, gue pengen elo bantu milih cincin sama perhiasan untuk maharnya si Aise."

Devon merasa ada yang terluka di bagian hatinya. Ingin rasanya menolak untuk menemani Boy mencari perhiasan. Tapi, sudahlah lagi pula bukankah ia sudah ikhlas melepas Khansa.

"Oke," sahut Devon dengan suara pelan.

"Nah gitu dong." Boy tampak senang." Kali sekalian elo cari cincin juga buat ngelamar ...." Boy terkekeh lagi. Devon tersenyum tipis.

Pernikahan Boy dan Khansa tinggal beberapa pekan lagi. Ah, rasanya waktu begitu cepat bergulir. Tak lama lagi Boy akan melepas masa lajangnya dan Khansa akan menjadi istrinya.

******
Khansa sedang mengantar pesanan ke para pengunjung di kedai. Sesekali menatap ke arah pintu, berharap Devon datang. Namun, hingga jam satu siang ini bosnya itu belum juga datang.

Ah, masih saja menyimpan asa dan rindu di hati. Meskipun pernikahannya dengan Boy sudah di ujung mata. Khansa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Melanjutkan tugasnya mengantar cangkir demi cangkir berisi kopi panas.

"Entar habis nikah, gak kerja di sini lagi dong?" Dewi menunggu kopi yang masih di racik Wahyu. Ia menatap Khansa yang berdiri di sebelahnya.

"Gak tau," sahut Khansa, galau." Betah banget kerja di sini."

D E V O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang