D E V O N

401 25 13
                                    

Tapi ... Khansa akhirnya menyerah. Tas dalam genggamannya terjatuh ke lantai. Lalu membiarkan lelaki itu menarik lengannya hingga tubuh mereka saling menempel. Mencoba untuk tenang meskipun, itu sulit.

Hendrik menatapnya dengan penuh hasrat. Didorongnya tubuh langsing itu hingga membentur dinding. Sedikit meringis mrnahan sakit karena kepala dan punggungnya terkena dinding dengan cukup keras.
Kemudian Hendrik membuka jasnya, melemparkan ke lantai.
Melonggarkan sedikit posisi dasinya.

Hendrik dengan nafas yang memburu mendekati Khansa, menempelkan kedua lengannya ke dinding sehingga gadis dihadapannya itu terkunci. Ia semakin mendekatkan tubuhnya. Mulai ingin mencium bibir Khansa. Satu tangannya mulai menyentuh kancing baju Khansa.

Gadis itu ketakutan. Kemudian diantara rasa takut itu, ia menarik nafas pelan-pelan dan mengembuskannya perlahan.

"Aku tidak suka penolakan!" kata Hendrik.
Nada bicaranya penuh rasa marah. Mungkin penolakan Khansa malam itu, membuat harga dirinya sebagai lelaki terasa diinjak-injak. Malu ditolak mentah-mentah oleh anak buahnya sendiri.

Gadis itu bergeming. Mencoba mengatur nafas agar tetap bisa berpikir jernih. Ia teringat pesan pelatihnya saat mengikuti kelas beladiri praktis ala Kushin Ryu. Hanya tekhnik- tekhnik dasar yang memanfaatkan anggota tubuh sebagai senjata untuk melindungi diri dari kejahatan. Selain itu, satu hal yang penting ialah tenang. Meski sulit. Apalagi satu kancing bajunya mulai dibuka oleh Hendrik.

"Khansa, aku akan membuatmu menyesal telah menolakku!" Hendrik terkekeh, merasa menang karena gadis itu berada dalam kuasanya.

Khansa tersenyum." Maafkan aku," ucapnya dengan nada manja. Hal itu semakin menaikan hasrat pria itu, matanya semakin liar. Suara nafasnya begitu jelas terdengar dan terasa hangat di wajah Khansa.

Lalu kedua tangan Khansa meremas bagian pangkal ketiak bosnya itu. Sontak Hendrik kaget dan mengerang kesakitan.
Ia mundur beberapa langkah, sedikit terhuyung.

Dada Khansa naik turun, jantungnya semakin terpompa kencang. Saat hendak memungut tasnya di lantai, Hendrik menarik pinggul Khansa dengan kasar. Lelaki itu mengunci tubuh Khansa dengan kedua tangannya yang melingkar di tubuhnya. Lelaki itu menyeringai. Seakan ia yakin bisa menguasai Khansa.

Gadis berbibir sensual itu menoleh ke arah Hendrik yang kini tepat ada di belakangnya. Wajahnya mulai pucat, tapi ia tetap harus bisa berpikir jernih.

Saat lelaki itu mulai ingin mencium tengkuknya dengan cepat Khansa membenturkan kepala bagian belakang dengan kuat ke wajah Hendrik.

Pria itu kaget, dan merasakan bibir dan hidungnya sakit, tubuhnya terhuyung lagi ke belakang dan menabrak meja kerja. Ia melotot ke arah Khansa.

Kini Khansa bebas dari dekapan Hendrik, lalu memanfaatkan kondisi pria yang sedikit melemah dengan mendekatinya dan mengayunkan kaki kanannya yang memakai sepatu high heels itu ke arah kemaluan bosnya. Menendangnya dengan kuat.

Suara erangan terdengar seiring dengan suara azan di luar sana. Lelaki itu memegangi onderdilnya yang seakan ingin pecah. Wajahnya merah menahan sakit sekaligus marah. Ia terduduk di lantai dengan kedua tangan yang masih memegangi alat vitalnya. Lagi karena kesal, Khansa mengarahkan lutut kanannya untuk menghajar dagu Hendrik.

"Cewek sialan!" Pekiknya. Ia kesakitan. Tak menyangka gadis itu bisa melawan.

Bergegas Khansa memungut tasnya dari lantai, dan pergi meninggalkan ruangan itu, melepas high heelsnya. Berlari secepatnya menuruni tangga kemudian meraih pintu kaca yang tak terkunci. Ia berlari tanpa menoleh ke belakang. Melintas di pos satpam, sekilas melirik ke dalam. Ah, satpam itu sedang ngorok duduk di kursi dengan kepala di atas meja. Khansa mendengus. Kemudian melanjutkan langkahnya.

D E V O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang