2. Galaumu, Galauku

159 8 3
                                    

Kita masing-masing malaikat brsayap satu
Kita hanya bisa terbang jika saling berpelukan
(Luciano De Crescenzo)

Dian Elmala-

** JUMINTEN**
-----------------------------
Farel terlihat gelisah. DIa menatap nanar wanita yang berbaring di sampingnya. Sungguh elok parasnya. Keelokan yang terkunci dalam sebuah etalase, bisa dilihat tetapi tidak bisa disentuh. Sudah hampir dua minggu  menikah, sekalipun Farel belum mendapatkan haknya sebagai suami. Selalu saja ada alasan untuk mengelak. Farel sungguh merasa heran. Bukankah mereka menikah atas dasar cinta? Lalu kenapa rumah tangga yang dijalani terasa kering kerontang, seperti bumi yang bertahun-tahun tidak mendapat kucuran hujan?

Farel menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan untuk mengurangi rasa sesak di dalam dada. Berjuta tanya menari-nari dalam pikirannya. Apa saja yang dilakukan Deva ketika dia sedang bekerja? Kenapa setiap hari istrinya selalu tidur awal seperti habis melakukan pekerjaan berat seharian? Bukankah semua pekerjaan rumah sudah dikerjakan oleh Juminten?

Farel berusaha instropeksi diri. Mengingat ingat apakah ada hal yang salah pada dirinya. Buntu. Semenjak masih pacaran Farel merasa telah berbuat semaksimal mungkin untuk membahagiakan Deva. Apa saja yang Deva minta, selalu dituruti. Meskipun terkadang sampai melebihi batas kemampuan. Pernah terbersit dalam pikirannya untuk mengambil paksa haknya dan itu bukan perbuatan dosa. Deva telah halal baginya. Tapi Farel masih berusaha untuk bersabar. Entah sampai kapan?

Sayup-sayup terdengar suara wanita menangis, membuat bulu kuduk Farel berdiri. Dalam kesunyian malam, suara selirih apapun bisa terdengar oleh mereka yang masih terjaga. Rasa penasaran mendorongnya mencari sumber suara. Farel melangkah pelan-pelan dalam gelap. Jantungnya berdegup sangat kencang. Tangisan itu makin memekik. Menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Farel merapal ayat Kursi berkali-kali untuk mengusir rasa takut. Semakin lama terdengar semakin keras dari arah kamar Juminten. Pintu kamar sedikit terbuka. Farel mengintip. Jeritnya tertahan saat dia menangkap sosok mengenakan kain putih.

“Juminten.”

Ternyata Juminten yang masih mengenakan mukena dan sedang menangis tersedu-sedu sambil memegang foto. Farel bersembunyi di balik tembok, sehingga bisa mendengar dengan jelas kata-kata Juminten.

“Mbok, Jum kangen sama simbok.” Jum mendekap erat foto almarhumah simboknya. Sesekali punggung tangannya menyeka air matanya yang tumpah berderai.

“Jum kesepian di sini...,”

Hening. Tidak ada yang merespon ungkapan kerinduannya. Hanya semilir angin sejuk menjelang fajar yang menemani, memeluknya dalam diam seolah ingin menyampaikan : “ ada aku bersamamu, Jum.”

“Jum...,Jum ingin berkumpul sama simbok seperti dulu lagi. Jum...Jum...,” Juminten tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Semua perih di hati telah diwakili oleh linangan.

Airmata Farel meleleh mendengar isak tangis Jum. Dia seketika teringat pada ibunya yang meninggal tepat di hari ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Wanita yang telah bertaruh nyawa untuk melahirkannya. Wanita yang siang malam tanpa lelah menjaganya hingga dia dewasa.

“Simboookkkk...,” Juminten meraung-raung dengan suara tertahan “Jum mencintai Farel..., sangat mencintainya.” Juminten memukul mukul lembut dadanya. “Orang yang Jum cintai sepenuh hati juga telah menikah dengan wanita lain, Mbok.” Jika Mbok Atun masih hidup, dia pasti akan mengelus-elus punggung Jum sampai tangisnya reda.

“Deg.” Farel terpaku pada posisinya, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar.  Juminten mencintainya? Kenapa sedikitpun tidak pernah terlintas dalam pikirannya? Dia merasa perhatian Jum selama ini tidak lebih dari sekedar menjalankan pekerjaannya sebagai Asisten Rumah Tangga.

JumintenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang