Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
Kepada hujan yang menjadikannya tiada. (Sapardi Djoko Damono, 1989, Aku ingin)-Dian Elmala-
------
Juminten membuka map berisi ijazah dan transkrip nilai. Sarjana Ekonomi Manajemen lulusan terbaik berpredikat cum laude dengan nilai mendekati sempurna 3,98. Dia meraba dengan penuh rasa sayang lembaran kertas yang ada di pangkuan, hasil perjuangannya selama tiga setengah tahun kuliah S1.Keinginan untuk berkarir di luar meledak kuat lalu merambat dengan kecepatan cahaya memenuhi seluruh ruang batin dan pikirannya. Dia ingin bekerja agar bisa segera melakukan operasi pengembalian kulit wajah, tapi masih terganjal ijin suami. Bagi Akbar, membiarkan istri cari uang sendiri itu sama saja penghinaan bagi harga dirinya sebagai tulang punggung keluarga.
Mau tidak mau, Juminten harus sabar menunggu Akbar mengumpulkan gajinya yang mungkin butuh waktu lama. Uang tabungan sebelumnya sudah terkuras habis untuk biaya pengobatan Akbar dan membeli rumah yang mereka tempati saat ini.
Juminten mengurut pelipisnya, pening. Sikap Akbar tidak banyak berubah meski sudah 6 bulan berlalu. Tetap dingin dan menjaga jarak. Dia mendekati Jum hanya kalau ada maunya saja dan langsung to the point. Tidak ada nuansa romantis dan kehangatan yang dihadirkan. Tidak ada bisikan menggoda yang mengalun di telinganya. Hanya sebuah ritual tanpa makna. Jum tak ubahnya seperti robot hidup.
Jikalau tidak ada iman yang melekat di hati, niscaya dia akan memilih kabur dari rumah dan berselingkuh dengan Farel yang terus menerus mengemis cintanya. Seperti peribahasa pucuk dicinta, ulam tiba. Saat jiwanya kering kerontang haus akan mata air cinta, ada pria lain yang siap membasahi.
“Jum…, Jum…, ambilkan kaos kakiku!” Pagi-pagi Akbar sudah merusak ketenangan rumah.
“Iya, Mas…, sebentar….” Juminten tergopoh-gopoh membawakan permintaan suaminya. Tangan kirinya memegang kemoceng dan sapu sekaligus. Di bahunya tersampir serbet makan. “Maaf Mas, tadi malam aku lupa menyiapkan.”
Akbar buru-buru mengenakan kaos kaki dan sepatu. Sejak diangkat menjadi Manager, Akbar jadi sering uring-uringan. Semakin jarang terlihat membaca al-Quran dan sholatnya juga selalu tidak tepat waktu. Dunia yang hina ini benar-benar telah melenakannya.
Akbar menghela nafas melihat wajah dan penampilan Juminten. “Cuba kamu lihat istrimu itu! Mana pantas laki-laki tampan dan punya karir bagus sepertimu punya istri macam dia. Udah, ceraikan saja! Cari yang bening-bening di kantor.” Setan dalam diri Akbar terus memprovokasi.
“Lain kali diingat-ingat to, Jum. Kamu itu belum tua-tua amat kok sudah pelupa gitu. Gini ini kalau aku telat apa tidak malu sama bawahanku. Dikira tidak bisa memberi contoh yang baik.” Akbar mengomel semaunya dengan wajah tertekuk. Dia lebih memikirkan penilaian anak buahnya daripada menjaga perasaan istrinya.“Maaf, Mas….” Sebenarnya Juminten ingin sekali melawan tapi dia lebih memilih mengalah selangkah untuk maju beribu-ribu langkah. Lagipula percuma berdebat dengan orang yang sedang dikuasai emosinya.
“Ya sudah, aku berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Juminten hendak mencium punggung tangan suaminya, tapi Akbar sudah buru-buru membalikkan badan. Juminten menarik kembali tangannya yang telah terulur. Tiba-tiba hatinya terasa perih meskipun tidak berdarah.
“Waalaikum salam…,” jawab Juminten lirih sambil mengusap peluh di dahinya. Dia menutup pintu dan masuk ke dalam dengan gontai. Entah sampai kapan dia harus bersabar dengan situasi ini. Sanggupkah dia untuk terus bertahan sampai merasakan manisnya buah kesabaran? Saat akan melanjutkan aktivitasnya, mata Juminten melihat bekal makan Akbar tertinggal di atas meja ruang tamu. Senyum mengembang di wajahnya. Mungkin ini pertanda dari yang Maha Kuasa agar dia tetap semangat memperjuangkan cinta suaminya yang sedang terkoyak oleh badai kehidupan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Juminten
RomantikaSeandainya waktu bisa diulang kembali ke masa lalu, maka aku akan tetap memilih jalan ini. Jalan cinta yang teramat terjal, curam dan dipenuhi dengan duri-duri tajam. Aku menyadari bahwa mencintaimu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan dalam h...