"Cintaku padamu bagaikan buih-buih di lautan yang terombang ambing tersapu gelombang." (Dian Elmala)--Dian Elmala--
**JUMINTEN**
------------ -
Mobil berbagai merk berjajar membujur memenuhi tepi kanan kiri jalan. Rumah lantai dua dengan luas sekitar 1 hektar di kawasan elite itu telah dibanjiri tamu undangan yang terdiri dari pegawai pilihan dan relasi penting perusahaan.Rasa tidak percaya diri memenuhi ruang jiwa Juminten. Ini adalah kali pertama dia menghadiri acara pesta yang dihadiri para CEO. Juminten bergelayut ditangan Akbar sambil menuntun langkahnya. Kehadiran mereka mengalihkan perhatian banyak mata. Pasangan si Buruk Rupa dan si Buta Tampan. Mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka.
"Mas, orang-orang kok ngeliatin kita kayak gitu ya?" Juminten berbisik pada Akbar. Dia merasa tidak nyaman dengan cara orang memandangnya. Seperti ada rasa risih.
"Sudahlah, tidak usah dihiraukan. PD saja!" jawab Akbar santai sambil menepuk nepuk lengan Jum.
Juminten menunduk ke bawah, melihat penampilannya dan membandingkannya dengan tamu lain. Satu-satunya kosmetik yang menempel di wajahnya hanya bedak tabur dan lipstik berwarna soft. Luka wajahnya begitu menonjol. Tidak ada hiasan khusus yang menyamarkannya. Gaun warna merah hati yang dikenakan juga tampak paling sederhana. Tidak ada tambahan payet-payet, border, atau aksesoris apapun di sana. Murni hanya sebuah gaun polos berbentuk payung di bagian bawahnya. Dipadukan dengan jilbab sifon rangkap warna favoritnya, baby pink.
Sebagian besar tamu menikmati hidangan sambil berdiri sesuai konsepnya standing party. Juminten menyebarkan pandangan mencari tempat duduk untuk menyantap jamuan yang sudah dihidangkan. Dia tidak terbiasa makan dan minum sambil berdiri, selain tidak sehat juga tidak sunnah. Di saat yang sama, dari kejauhan ada sepasang mata yang diam-diam mengamati Juminten dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Hai, Akbar..., tak kirain loe gak datang." Arman, staff dari Departemen keuangan menghampiri Akbar yang duduk di pojok. Sekilas Arman melihat Juminten dan melemparkan senyum sekedarnya.
"Datanglah, gak enak gue sama pak Direktur. Kamu datang sama siapa?" balas Akbar.
"Sendirian gue. Istri gue habis lahiran. Belum bisa diajak kemana mana. Loe sendiri gimana? Udah ada tanda-tanda belum ni?" tanya Arman ceplas ceplos tanpa mempedulikan perasaan lawan bicaranya.
"Aaaah..., baru juga tiga bulan ya, Bar?" Rudi tiba-tiba menyaut dari belakang bersama Susi. Kebekuan Juminten di acara itu sedikit tercairkan dengan kehadiran Susi. Satu-satunya tamu undangan cewek yang dikenalnya.
"Iya..., tenang saja. Saya dulu dua tahun baru ada," ucap Susi menenangkan.
"Tapi dua-duanya sehat, kan?" Juminten berharap pembicaraan sensitif itu akan berakhir dengan jawaban Susi, tapi Arman masih saja mengejar. Akbar meresapi pertanyaan Arman. Selama ini dia dan Juminten memang belum pernah sekalipun memeriksakan diri ke dokter spesialis.
"Sudah-sudah ganti topik. Eh, Akbar dipromosikan naik jabatan jadi Manager Personalia,lo. Dia bakal jadi atasan gue," ucap Rudi berapi-api. Rudi memang lebih senior dari Akbar, hanya saja kebiasaannya yang suka mengkritisi kebijakan perusahaan membuat perkembangan karirnya jalan di tempat. Rudi bahkan pernah memimpin demo buruh menuntut kenaikan gaji. Cap pembangkang sudah melekat pada namanya. Syukur-syukur tidak sampai dipecat dari jabatannya sekarang sebagai staff.
"Jadi atasan gue juga." Farel yang baru datang ikut nimbrung. Netranya menatap wanita yang puluhan tahun hidup bersamanya. Perasaannya semakin jelas terdefinisi. Cinta. Farel mulai merasakannya saat Juminten berlalu dari obrolan di teras belakang rumahnya. Di matanya, Juminten adalah wanita yang sangat istimewa. Tatapan Farel membuat Juminten merasa tidak nyaman. Bagaimanapun juga, Farel adalah cinta pertama yang mengisi hatinya selama puluhan tahun. Juminten seketika ingat kata-kata yang diucapkan almarhumah Bu Broto sebelum meninggal. Beliau ingin sekali Juminten menjadi pendamping Farel. Tapi semua itu hanya masa lalu yang harus dikubur dalam-dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juminten
RomanceSeandainya waktu bisa diulang kembali ke masa lalu, maka aku akan tetap memilih jalan ini. Jalan cinta yang teramat terjal, curam dan dipenuhi dengan duri-duri tajam. Aku menyadari bahwa mencintaimu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan dalam h...