11. Bisik-bisik Cinta

140 5 0
                                    

Tak peduli berapa banyak lagi malam yang harus kulewati tanpa ditemani bintang gemintang. Api cinta ini akan terus berkobar, meski pada akhirnya akan membakar diriku sendiri. (Dian Elmala)

-Dian Elmala-

#JUMINTEN 11

---------------
“Apa liat-liat?! Terpesona sama kecantikan gue?!” bentak Zahra saat tahu ada sepasang mata peluruh hati, curi-curi pandang padanya. “Dasar buaya darat! Menilai wanita hanya dari fisiknya saja,”ucapnya dalam hati.

“Ohh..., maaf Bu.” Akbar sekuat tenaga menahan emosi agar tidak meledak. Bagaimana bisa dia terpesona dengan wanita lain, jika kalbunya terus memberontak meneriakkan nama istrinya.

“Ba..., bu..., ba..., bu..., umur gue tu lebih muda dari kamu tau. Panggil aku Nona! Nona Zahra. Mengerti?”

“Mengerti, Nona Zahra.” Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Akbar menuruti apa saja kemauan Bos barunya itu. Dia tidak mau posisi yang diperjuangkan belasan tahun melayang oleh sebuah kecerobohan kecil.

“Buruan jalan! Nanti mampir dulu ke mall, gue mau belanja.”

“Apa? Ke mall? Apa tidak sebaiknya nanti sore saja sama sopir di rumah, Non?” Akbar mencoba menolak sehalus mungkin.

“Eh, siapa loe..., berani-beraninya ngatur gue. Mau kembali ke posisi staff?” Zahra berjingkrak-jingkrak dalam hati. Asyik juga menguji kesabaran suaminya  itu.

“Tidak, Non. Maafkan saya....” Akbar mendengus kesal. Alamat pulang telat dia hari ini.

Memainkan peran yang berbeda jauh dengan kepribadian dan karakter asli, sungguh melelahkan. Butuh waktu berbulan-bulan baginya untuk berlatih acting di depan kaca, sampai benar-benar menghayati sandiwara itu.

Bimbang kerapkali hadir tanpa diundang. Wanita yang mirip selebgram korea itu masih belum memutuskan langkah apa yang akan diambil terkait nasib pernikahannya yang menggantung. Mengajukan gugatan cerai atau kembali pada Akbar dengan konsekwensi siap diduakan dengan wanita misterius yang hanya tampak punggungnya waktu itu.

Sepanjang perjalanan, ketiganya saling diam. Zahra menyibukkan diri membaca modul kuliah. Minggu depan dia akan menghadapi ujian semester dua. Indranya tampak menjelajahi kata demi kata, namun pikirannya mengembara ke sebuah kepingan skenario yang secara drastis memutar roda kehidupannya.

#Flashback

Setelah setengah harian pingsan, Juminten membuka mata perlahan. Kepalanya masih terasa sedikit nyeri, seperti ada duri-duri kecil yang menusuk lembut tulang tengkorak. Sadar berada di tempat asing, sontak membuatnya terperanjat. Baju yang dikenakan pun bukan miliknya sendiri. Di kamar mewah bernuansa Perancis klasik itu, ada tiga orang tak dikenal yang mengelilingi.

“Si...si...siapa kalian?” Juminten bangun dari posisi tidurnya.

“Jangan takut, Nak. Kami tidak berniat jahat. Kamu tadi tergeletak di pinggir jalan dan tidak ada seorang pun di sana karena hujan sangat lebat, jadi orang suruhan kami bergegas menolongmu.” Seorang wanita berusia enam puluh tahunan, duduk di tepi ranjang berusaha menenangkan.

“Terima kasih, Bu. Maaf sudah merepotkan.”

“Ah, tidak repot. Kami senang melakukannya.”

“Nak....” Pak Cipto Mangunkusumo mendekat. Juminten seperti pernah melihat sosok berwibawa itu, entah di mana.

“Ada hal penting yang ingin kami tunjukkan padamu.” Milyarder pemilik beberapa perusahaan yang bergerak di sektor migas itu menyerahkan selembar kertas hasil tes DNA. “Maaf, kami mengambil sedikit sampel darah saat kamu belum sadarkan diri untuk membuktikan dugaan kuat kami.”

JumintenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang