4. Melihat dengan Mata Hati

131 3 0
                                    

“Wanita dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.” (H.R Al-Bukhari)

Dian Elmala-

** JUMINTEN**
----------

Seperti malam-malam sebelumnya, kegiatan Bu Retno setelah sholat isya’ adalah menyiapkan makan malam. Moment dinner di keluarga Akbar, dijadikan sebagai sarana komunikasi dan menjalin keakraban antar anggota keluarga. Empat buah piring posisi terbalik diapit sendok dan garpu tertata rapi di atas meja makan. Di rumahnya yang sederhana, Akbar tinggal bersama kedua orang tua dan Cici, adik perempuannya yang masih duduk di bangku SD kelas 5.

Aroma sedap makanan memudahkan Akbar menemukan meja makan. Anggota keluarga yang lain sudah berkumpul lebih dulu di sana, ditandai tawa Cici yang terdengar sumringah. Ayah Akbar sangat gemar menggoda anak perempuan bungsunya itu. Kehadiran Cici adalah hiburan untuk Pak Edi dan Bu Retno diusia senjanya. Cici lahir tepat satu hari setelah Akbar wisuda S1. Usia mereka terpaut 22 tahun. Saat jalan bersama, orang-orang yang tidak kenal mengira Cici adalah anak Akbar.

“Abang..., abang...,” Cici menyambut kedatangan Akbar dengan gembira. Adik kecilnya itu selalu membantu menggeserkan kursi agar Akbar lebih mudah duduk.

“Makasih, Sayang.” Akbar mengacak-acak rambut Cici yang panjangnya sepinggang dan selalu dikepang dua.

Bu Retno menuangkan nasi dan lauk pauk ke piring Akbar. Kalau Cici adalah kesayangan ayahnya, maka Akbar adalah kesayangan ibunya. Sejak kecil Akbar tidak pernah jauh dari Bu Retno, terlebih setelah mengalami kecelakaan yang merenggut penglihatannya saat berumur 12 tahun.

“Bapak..., Ibu..., Akbar pengin menikah.”

Ucapnya yang tiba-tiba sontak mengagetkan orang tuanya. Apalagi selama ini, Akbar tidak pernah sekalipun bicara tentang wanita. Kebutaan yang dialami membuat Akbar menutup diri dari urusan asmara. Pak Edi berhenti melanjutkan suapannya. Dia lebih tertarik mendengarkan kelanjutan kisah cinta anak sulungnya itu. Diusianya yang sudah 31 tahun, memang sudah waktunya Akbar berumah tangga.

“Menikah? Sama siapa, Jang? Bu Retno tidak sabar ingin mendengar nama calon menantunya. Matanya berbinar-binar. Sudah lama Bu Retno berusaha membujuk Akbar agar mau menikah, sampai dikenalkan dengan anak teman-temannya. Satupun tidak ada yang bisa meluluhkan hati Akbar. Ruang hatinya seperti sudah terisi oleh sebuah nama.

“Akbar pengin menikah dengan Juminten, Bue.” Akbar menjawab begitu tenang.

“Juminten anak pembantu di rumah Pak Broto?” Bu Retno memastikan yang diiringi dengan anggukan kepala Akbar.

“Kamu tau nggak si, Akbar? Juminten itu cacat wajahnya. Walaupun kamu buta, kamu itu tampan dan punya masa depan yang cemerlang. Wanita normal dan cantik saja ada yang mau sama kamu. Anaknya Bu Teti itu misalnya. Cantik, berpendidikan. Malah kamu tolak mentah-mentah.”

Akbar menanggapi komentar ibunya dengan senyuman. “Aku cari wanita yang cantik hatinya, Bue. Karena aku hanya bisa melihat dengan mata hati. Buat apa cantik fisik, jika aku tidak bisa melihatnya.”

“Iya iya, Bue tidak akan membahas masalah kecantikan fisik. Sekarang masalah bobot, bibit dan bebet. Juminten itu asal usulnya tidak jelas. Siapa orang tua kandungnya tidak ada yang tau. Simboknya itu menemukan dia di pinggir sungai, terus dibawa dan dibesarkan di rumah Pak Broto. Jangan-jangan Juminten itu anak hasil hubungan gelap yang dibuang orangtuanya. Kalau bukan karena kebaikan Pak Broto yang memasukkannya ke dalam Kartu Keluarga, Juminten gak akan bisa sekolah sampai sarjana.

“Hush, Bue ngomongnya itu lo dijaga. Kita itu cuma manusia biasa yang banyak khilafnya. Tidak pantas menghakimi orang seperti itu. Bisa jadi di hadapan Allah, Juminten itu lebih mulia derajatnya dibanding kita. Kita mengenal Jum dari kecil. Akhlaknya sangat baik. Prestasinya juga bagus. Yang paling penting Akbar sudah yakin sama dia. Kita sebagai orang tua tinggal mendoakan dan memberi restu.”

JumintenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang