10. Arti Kehilangan

117 5 0
                                    

“Katakan! Bagaimana aku bisa tetap berdiri kokoh mengarungi hari-hari, jika engkau pergi membawa serta debaran jantung dan nafas cintaku dalam genggamanmu?” (Dian Elmala)

- Dian Elmala -

#JUMINTEN 10

-------
“Kalau kecelakaannya terjadi kemarin, seharusnya ada pihak rumah sakit atau kepolisian yang mengabari kita. Bapak rasa itu bukan Juminten istrimu.” Pak Ilham mengajak Akbar berfikir jernih.

Akbar tidak menyaut. Dia seperti sedang berada di dunia lain. Tak henti-henti, dia mengutuki diri. Menyesali keputusan melakukan operasi mata yang justru berujung pada kehancuran mahligai cintanya.

“Kita pastikan saja, Pak. Biar Akbar bisa tenang.” Bu Retno menengahi.

Pak Ilham mengambil alih kemudi. Bu Retno membimbing Akbar masuk kedalam  mobil Avanza warna hitam. Kantung matanya tampak gelap, kurang tidur. Dua hari dua malam, Akbar bertarung melawan gelisah yang menggerogoti ketenangan hidupnya. Bayangan Juminten yang sedang menangis tersedu tak henti menari-nari di pelupuk matanya.

Akbar menatap keluar jendela. Bangunan gedung bertingkat seolah berubah menjadi duplikat diri yang sedang menertawakan kebodohannya. Dia bodoh karena telah melukai Juminten hanya karena kekurangan fisik yang telah diketahui sejak awal. Dia bodoh karena telah bersikap dingin pada wanita yang  tanpa berfikir panjang siap menghabiskan sisa hidupnya bersama seorang buta, yang tidak jelas ada harapan untuk sembuh atau tidak. Memang benar kata orang bijak. Manusia baru bisa merasakan betapa berharganya seseorang, saat sudah tidak ada lagi di sisi.

Bu Retno menggenggam tangan Akbar. Dia tidak tahu persis masalah apa yang terjadi dalam rumah tangga anaknya. Melihat kondisi Akbar yang sedemikian pilu, mengurungkan niat Bu Retno untuk mengajukan pertanyaan sensitif itu.

“Permisi, Bu. Pasien bernama Juminten ada di kamar berapa ya?” Setelah mobil diparkir, Akbar turun dulu dan langsung menuju bagian informasi.  Kedua orang tuanya menyusul beberapa detik kemudian.

“Juminten, pasien korban tabrak lari yang baru masuk kemarin?” Petugas yang mengenakan baju serba putih itu memastikan.

“Iya, benar.”

“Maaf Bapak, jenazah pasien tersebut sudah dipindahkan ke kamar mayat  tadi pagi.”

“Ju...Jum...Juminten sudah meninggal?’’ Akbar tergagap. Semua sendinya terkulai lemas. Kesedihan yang terlampau dalam justru mengeringkan air matanya.  Pak Ilham menangkap tubuh Akbar yang hampir tumbang.

“Mari kita pastikan dulu. Bisa jadi Juminten yang lain.” Pak Ilham berusaha sebijak mungkin. Hati kecilnya mengatakan itu bukan menantunya.

Akbar yang tidak sabar menunggu kelanjutan informasi dari resepsionis bergegas menuju kamar mayat.  Seorang petugas yang sebagian wajahnya tertutup masker, menunjukkan jenazah yang bernama Juminten. Akbar dituntun ayahnya mendekati mayat yang tertutup kain warna putih dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tubuh Akbar bergetar hebat. Dia ingin melarikan perih dengan berteriak sekencang-kencangnya, namun suaranya tertahan.

Tangan kekar itu menyentuh ujung kain atas. Pelan, dia singkap bagian yang menutupi wajah. Nafas yang tertahan di pangkal tenggorokan meluncur begitu leganya. Wanita yang membujur kaku dengan luka serius di bagian kepala itu bukan Juminten istrinya. Melainkan seorang pekerja pabrik dari luar Jawa yang sedang menunggu kedatangan keluarganya. Hanya nama mereka saja yang kebetulan sama. Akbar menghambur ke pelukan ibunya. Kali ini tangisnya pecah. Bu Retno menepuk-nepuk punggung Akbar dan membiarkannya puas menumpahkan mendung di hatinya.

“Sabar ya, Jang! Jum pasti akan kembali ke sisimu.”

“Akbar menyesal sudah menyakiti, Jum, Bue!”

JumintenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang