Chapter 14

64 23 33
                                    

Senyuman Ara masih belum luntur ketika mengingat segala hal tentang masa kecilnya dulu. Belum lagi kebahagiaan yang sekarang ia rasakan terasa sangat memihak padanya.

"Kenalin dong Ra pacarnya,"

Ara tersentak. Bangun dari lamunan yang sedari tadi menghiasi kepalanya. Kemudian mencoba berpikir ulang perihal kalimat yang tadi dilontarkan oleh kakaknya itu.

Setelah sadar tak segan ia melotot horor, pacar? Farel maksudnya? Aishhh sudah dua kali ditempat yang sama mengira kalo Farel pacarnya, kok bisa? Emang cocok ya? Eh! Ara buru-buru memukul kepalanya. Mikir apa sih Ra? Lagi laper deh kayaknya, makanya pikiran Ara ngelantur. "Eh kenapa kok dipukul-pukul?"

"Eh enggak, bukan lah kak! Temen doang kok. Kakak ih tinggal kenalan aja pake acara nyuruh-nyuruh segala. Udah gede juga,"

Revan mendengus geli, adiknya ini bawelnya emang nggak berubah. Kemudian ia pun mengulurkan tangannya, "Revan, kakaknya Ara."

Farel menyerit, bukannya Ara anak tunggal ya? Kok punya kakak? Uluran tangan Revan pun tak kunjung dibalasnya, pikirannya masih menerka-nerka. Pandangannya juga meneliti Revan seolah menilai laki-laki itu.

Revan memang tampan, Farel mengakui dan tak bisa menampiknya. Tetapi bila dibandingkan dengan dirinya tentu saja ia lebih tampan, lebih muda juga sudah pasti.

Revan. Cowok itu memiliki postur tubuh yang bisa dikatakan besar. Besar dalam artian tinggi dan kekar. Bingkai wajahnya yang tegas dan kokoh mampu membuat perempuan manapun tak mau mengalihkan pandangannya.

Lesung pipit yang ia miliki di bagian pipi sebelah kiri juga menambah kesan manis.

"OY!" Teriak Ara disertai dengan tangannya yang menyentil keras dahi Farel. "Malah bengong!"

"Sakit bego!"

Tak lama setelah itu Farel pun membalas uluran tangan Revan, "Farel. Gue tuh masih mikir, katanya lo anak tunggal, mana ada punya kakak." Kini Tatapan Farel beralih ke Revan, "Ngaku-ngaku ya lo?"

Revan tersentak. Ngaku-ngaku? Siapa sih cowok yang sedang bersama adiknya ini? 

"Ohh.... gue emang anak tunggal. Jadi gini, kak Revan itu tetangga depan rumah waktu di Jogja. Bukan cuma tetangga sih soalnya kita udah deket dari kecil."

"Jogja?"

Terdengar helaan napas dari bibir Ara. "Gue asli Jogja, pindah kesini waktu SMA. Ihh kok jadi ngomongin ini sih, ntar panjang."

Farel yang mulai sedikit paham pun mengangguk-ngangguk. "Jadi kakak-adekan?"

Mulut Ara terbuka lebar, apa katanya? Kakak-adekan? "Bodo lah, Rel." Ketus Ara. Ara pun kembali melanjutkan makannya yang sempat tertunda. Oh iya kalian tahu? Saat ini meja yang mereka tempati telah penuh dengan aneka menu di cafe itu. Tetapi yang sedari tadi makan hanyalah Ara, sedangkan Revan dan Farel tengah mengobrol ringan yang tak Ara pedulikan.

"Hadehh kenyangnya..." ucap Ara sembari menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangannya bergerak menepuk-nepuk perutnya yang kini terasa lebih buncit.

Farel dan Revan pun mengalihkan pandangannya ke arah satu-satunya perempuan yang ada di dekat mereka. Kedua cowok itu secara bersamaan menggelengkan kepalanya takjub. Pasalnya semua makanan yang ada di meja telah ludes berpindah ke perut Ara. Piring-piring yang tadinya penuh, sekarang telah bersih dan hanya meninggalkan noda seperti halnya saus. Kedua cowok itu sampai tidak sadar, entah saking asiknya mereka mengobrol atau justru saking cepatnya Ara makan?

Revan terkekeh geli melihat tangan Ara yang masih saja menyuap potongan brownisnya yang terakhir, yang membuat kapasitas pipi Ara kian bertambah karena potongannya yang terlalu besar. Memang sejak kecil cewek itu sangat menyukai apapun jenis kue, apalagi bolu dan brownis. Jika Ara sudah bertemu dengan kedua kue itu, sikap Ara akan berubah total. Dia bakalan jadi cewek kalem, jadi cewek pendiem yang duduk rapi sambil nongkrongin kuenya. Dunianya dengan kue sudah tidak bisa diganggu gugat, katanya.

About YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang