"Menurut lo, gimana?" Ara terus mendongak ke atas sana. Hatinya selalu dilanda oleh perasaan was-was. Bingung juga.
Perlahan sapuan lembut angin terasa di wajah Ara. Seperti menjawab pertanyaan yang gadis itu ajukan.
Diatas sana, Sirius bersinar seterang-terangnya. Selolah memancarkan cahaya paling terang yang ia miliki untuk membuktikan pada Ara.
Selama tiga hari ini, tidak ada yang tahu kejadian di gor sore itu. Ayah, bunda, bahkan sahabat-sahabatnya. Bukannya tidak ingin bercerita, tapi Ara hanya ingin memastikan hatinya terlebih dulu.
Apa benar yang ia rasakan selama ini juga rasa suka?
Apa nyaman yang ada ketika dekat dengan laki-laki itu juga sebuah tanda?
Seketika pikiran Ara terlempar ke beberapa waktu lalu. Bagaimana cara Farel memperlakukannya dan beberapa kali cowok itu berbicara tanpa kesadaran. Ara tau. Ara pernah mendengar. Tapi Ara pikir pun itu hanya sebuah candaan karena ingat perilaku Farel yang kadang kala frontal dan suka-suka.
Tapi, tidak dapat dipungkiri bila jantungnya kerap berdebar saat di samping cowok itu. Ah apalagi saat di gor olahgara kemarin. Ara benar-benar blank, bahkan berkedip pun rasanya sulit sekali.
Perempuan itu terpaku ketika matanya melihat bintang-bintang di sekitar Sirius bertambah banyak. Berkelil-kelip terang walau tak seterang bintang kesukaannya.
Apa mereka ngasih gue jawaban?
Ara tersenyum. Kali ini, malam ini, Ara sudah menemukan pilihannya. Tiga hari sudah cukup untuk dirinya berpikir. Yang ia lakukan hanya tinggal menunggu dua hari lagi di pesta prom night untuk memberi jawaban kepada laki-laki itu.
Setelah tiga hari dibuat linglung oleh pernyataan Farel yang tiba-tiba. Akhirnya Ara mampu menemukan jawaban atas dirinya. Selama tiga hari itu juga, Ara tidak bisa tidur. Bahkan ketika Febby dan Clarissa mengajaknya berbicara pun kesannya Ara tidak nyambung. Sering melamun dan tidak fokus.
"Sayang, jam segini kok masih di balkon?"
Ara terlonjak kaget. Diputar tubuhnya seratus delapan puluh derajat hingga netranya menemukan sang bunda. Wanita dengan piyama tidur itu tersenyum lembut ke arahnya. Semakin mendekat hingga tiba di depan Ara dengan tangan yang memeluk dirinya sendiri.
"Bunda belum tidur?"
Bunda menggeleng kecil. Duduk di kursi kayu yang ada disana dan meminta Ara untuk mengikuti. Dipeluknya putri semata wayangnya agar sedikit menghalau dingin. "Tiga hari ini bunda susah tidur."
Ara membulatkan matanya. Degup jantungnya berdetak lebih dari degupan seharusnya. Apa bundanya ikut merasakan apa yang ia rasakan? Seerat itukah ikatan batin mereka?
"Kamu nggak papa kan sayang? Biasanya kalo Bunda kayak gini tuh ada sesuatu sama kamu atau enggak Ayah."
Bola mata Ara berlarian ke kanan dan kiri. Ia memang sudah menentukan pilihan. Tapi apa bundanya perlu tau hal ini? Jika pun tau apa bundanya juga akan mendukungnya?
Ara menghembuskan napasnya pelan. Ia rasa bundanya perlu tau. Apalagi bunda juga sudah mengenal baik cowok itu. Jadi ya, tidak masalah.
"Bunda,"
"Iya sayang?"
"Em..." Ara melepaskan diri dari pelukan sang bunda. Menatapnya tetapi ada sedikit keraguan disana.
Bunda menyelipkan anak rambut putrinya ke belakang telinga. Balik menatap putrinya penuh keyakinan. "Bunda pernah bilang kan kalo ada apa-apa Ara boleh cerita sama Bunda? Bunda siap dengerinnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
About YOU
Teen FictionPertemuan yang terjadi antara aku dan kamu, ku anggap bukan sekadar kebetulan. Aku tak menyesalinya, sungguh. Karena kupikir, semua itu adalah takdir yang telah digariskan Tuhan untukku. *Cuma cerita anak sekolahan yang udah banyak di dunia orange i...