Ponsel Azkia berdering nyaring sekali. Ia berpikir suara alarm, namun ia sadar ia tidak pernah memasang alarm sepagi ini. Saat ia melihat jam di ponsel, ia menggerutu. Astaga masih pukul lima, dan Izza sudah menelponnya? Itu anak kurang senang apa menerot hidupnya? Sungutnya.
Ia masukan ponsel ke dalam laci namun ponsel itu kembali berbunyi.
"Apaan sih Za!" teriak Azkia
"Bangun, shalat shubuh."
"Bentar lagi."
"Jangan bentar lagi, aku mau kesitu nih."
Azkia terlonjak, "INI JAM 5 NGAPAIN KAMU KESINI?"
Izza tertawa, "eh maksud aku, jam 7 mau kesitu."
"Mau ngapain? Hari libur malas banget harus lihat muka kamu juga."
"Aku nangis lho kamu ngomong gitu."
"BODO!!"
Azkia mematikan ponselnya dan melemparnya ke bawah bantal. Ia sedang ingin bersantai di hari minggu. Sudah seminggu ini ia harus mengerjakan skripsi sekaligus catatan anggaran keuangan himpunan di kampusnya. Hari ini ia ingin tidur sampai siang, dan hanya terbangun jika memang ingin.
Ternyata tekad Izza lebih besar daripada kengganan Azkia. Ia berdiri di depan pintu kos Azkia tepat jam 7 pagi ketika matahari masih hangat-hangatnya menyinari dunia.
"Az, nggak dibuka aku minta kunci cadangan nih sama ibu kos."
Izza mungkin gadis lembut, namun keras kepalanya melebihi batu.
"Nih aku bawakan nasi gurih pakai telor sambal lado."
"Aku nggak minta."
"Tapi aku iklas ngasihnya. Nggak boleh ditolak. Allah nggak suka sama orang yang nolak rezeki. Itu menandakan―"
Azkia mengangkat tangannya, menyuruh Izza diam dan menyambar nasi gurih dari tangannya.
Izza tersenyum penuh kemenangan.
"Mau apa?"
Izza duduk bersila di lantai kos Azkia, gamisnya yang kembang berwarna pink membentuk kelopak bunga saat ia duduk. Hijab dengan warna senada pun menjuntai hingga lantai.
"Temeni aku belanja."
Azkia mengernyit, "Tumben."
Izza diam. Ia masih memperhatikan Azkia menghabiskan nasi gurihnya. "Kamu mandi yah. Terus pakai baju yang sopan." Izza nyegir, merasa tidak enak karena sudah meminta bantuan eh malah mengatur pakaian yang harus dikenakan Azkia.
Tangan Azkia mematung tepat di depan mulutnya yang hendak menyuap nasi gurih. Pandangan tak suka ia layangkan kepada Izza.
"Jangan cari-cari aku marah lah Iz. Lagi nggak pengen main tebak-tebakan sama kamu."
"Kamu pasti nggak shalat subuh kan?"
"Apa hubungannya?"
Izza mendesah. Mendekati Azkia padahal jarak mereka sudah cukup dekat untuk melihat pori-pori wajah di wajah masing-masing.
"Shalat subuh itu shalat paling mulia. Tau kenapa? Karena shalat subuh disaksikan oleh para malaikat. Bayangkan Az, kita shalat disaksikan malaikat. Nggak pengen kamu?"
Azkia melanjutkan makannya. Ceramah harian Izza mulai kumat.
"Terus―" Izza melanjutkan, tak menyerah meski kuping Azkia menebal, "setiap memulai hari itu, dimulai dengan yang baik-baik. Nah apa yang lebih baik daripada shalat menghadap Allah dan bersyukur kita masih diberi kesempatan menuai kebaikan di muka bumi ini."
"Aku baik-baik aja tuh selama ini."
"Astagfirullah, selama ini kamu tinggal terus shalat subuhnya?"
Azkia malas menjawab, "Udah ah aku mau mandi."
"Mandi yang bersih ya."
Azkia tidak menyahut ataupun menoleh sama sekali ketika meninggalkan kamar menuju kamar mandi kos-kosannya, menguap lebar-lebar dan berencana tidur lagi setelah mandi.
***
Share & Vote jika kamu suka cerita ini ^^
YOU ARE READING
Dear Heart, Why Him?
Любовные романыTulisan ini diikutsertakan dalam #WritingProjectAe Azkia gadis keras kepala yang sulit jatuh cinta. Ray adalah bukti betapa hati Azkia tertutup rapat untuk sebuah kata cinta. Izza gadis manis nan santun, sahabat karib sekaligus orang yang paling d...