BAB 13

69 0 0
                                    

Meninggalkan mimpi aneh yang semalam mengganggu tidurnya, Azkia buru-buru ke kampus. Sesampainya di sana ia membawa copy-an sumber yang masih ia simpan, data-data yang menggunakan metode penelitian yang sama sepertinya, yang ia gunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan skripisnya, serta juga data pribadi miliknya yang ia dapat dari tempat penelitiannya. Semuanya ia kemas dengan rapi di dalam map plastic jinjing hitam.

Ia bertemu Agus di tangga. Ia baru saja keluar dari ruang bimbingan dosen. Skripsinya hampir selesai, dan ia siap sidang bulan ini, jika terkejar ia bisa ikut bersama wisuda tahun ini bersama angkatannya. Kabar baik untuknya, dan ia juga merasa prihatin atas musibah yang menimpa Azkia.

"Kamu udah ditungguin. Tapi aku udah ceritakan pembelaan untuk kamu."

Azkia merasa terharu. Tidak menyangka Agus akan sebaik ini padanya.

"Jangan terharu dulu. Kelar urusan ini traktir pizza." Tawanya yang garing membuat Azkia tersenyum. Sedikit menenangkan untuk hatinya yang tak gelisah.

Dengan kepercayaan diri yang selama ini ada dalam dirinya, dan ketegaran dirinya agar tidak gentar ketika dipenuhi tekanan dari berbagai pihak, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, Azkia melangkah ke dalam ruang dosen pembimbingnya.

"Bismillah." Bisiknya dalam hati.

***

Hilang selera makannya. Pertemuan pertama dengan dosennya tidak berjalan baik, namun berita bagusnya (Azkia tidak tahu apakah bisa menyebutnya berita bagus atau bukan) ia harus membuktikan semua pembelaannya adalah benar dalam waktu dua minggu. Lebih dari itu, Azkia terpaksa harus mengulang kembali skripsinya atau lebih parahnya ia dikenai sanksi, nama baiknya akan tercoreng dan ia tidak mampu membayangkan dampak lebih besar di masa depannya.

Bukan masalah dua minggu yang menganggu Azkia, namun membuktikan semua referensi yang ia kutip adalah benar artinya ia harus mengulang kembali masa-masa duduk berjam-jam di perpustakaan, kopi bergelas-gelas dan perut hanya di isi makanan siap saji.

Getar ponsel dalam tasnya menganggu Azkia, teringat ponsel Izza masih ada di tangannya. Ia melihat nama Jafar kembali menghiasi display tersebut. Ada cemburu yang menganggu hatinya. Sebuah pertanyaan melintas di kepalanya, apakah Jafar sering menghubungi Izza?

"Halo." Sahut Azkia

"Assalamualaikum."

Azkia menarik nafas, "Walaikumsalam."

Azkia bisa menebak Jafar tersenyum di seberang sana.

"Kamu cari Izza? Ponselnya belum aku kembalikan. Belum sempat kesana."

"Nggak. Aku Cuma ngecek aja."

"Ngecek apa?"

Jafar diam sejenak. Bingung bagaimana ia mengungkapkan kejujuran tanpa harus membuka perasaannya sehingga menimbulkan salah paham.

"Gimana kalau aku aja yang kembalikan? Kebetulan aku di dekat kampus kamu."

"Kebetulan yang sangat menyenangkan." Azkia tidak mampu menyembunyikan sarkasme dari bibirnya.

Jafar tertawa.

"Kamu tidak mahir berbohong."

"Itu pujian atau sindiran halus lagi?"

Kali ini Azkia yang tertawa.

"Aku kesitu ya."

"Oke."

Azkia mematikan teleponnya sepihak. Mendadak beban yang menggelayuti dirinya terangkat begitu saja. Seperti awan mendung yang menutupi matahari, dan angin telah mengusirnya menjauh agar tidak menghalangi sinarnya. Seperti itu lah Jafar. Ia menyingkirkan mendung itu dan membuat mood Azkia membaik begitu saja.

Iya begitu saja.

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mencari cermin dalam tasnya. Mengaduk-aduk tas selempang yang isinya adalah notes kecil dan ponsel miliknya dan kunci mobil, namun tidak menemukan benda mungil itu. Karena tidak menemukannya, ia beralih ke toilet kampus. Disana ia memandangi dirinya sendiri. Bayangan itu tidak mampu menipu dirinya bahwa ada senyum di sana, ada harapan yang membayanginya, namun juga ada masa depan suram di hadapannya.

***

Share & Vote Jika Kamu Suka Cerita Ini ^^

Dear Heart, Why Him?Where stories live. Discover now