BAB 19

154 4 1
                                    

"Kabar baiknya, dosenku percaya dengan bukti referensi yang aku bawa."

"Allhamdullah." Ucap Jafar tulus, "Tapi ..."

Azkia mendadak manyun, ternyata Jafar menyadari ada informasi penting lainnya "Masalahnya tinggal bapak yang sempat ngomong kalau kutipan yang aku ambil mirip dengan punya skripsi istrinya."

"Seharusnya tidak masuk akal kan?"

"Iya. Kan skripsi ku Cuma ngambil refernsi terbaru dari lima tahun lalu. Nah bapak itu bilanglah usianya sekitar hampir 40 tahun. Berarti istrinya tidak beda jauh dengannya. Seharunsya aku tidak mungkin mengutip referesni skripsi istrinya, seperti yang ia tuduhkan."

"Atau bisa jadi itu istri mudanya." Jafar tertawa mendengar leluconnya sendiri

"Nggak lucu."

"Namanya juga usaha."

Adzan di radio mobil berkumandang. Azkia menoleh ke arah Jafar yang enteng saja membawa mobilnya melaju menembus jalan beraspal yang masih sepi. Setahu Azkia, di simpang depan sana ada mesjid, seharusnya Jafar berhenti untuk shalat. Tapi dugaan Azkia meleset, Jafar malah terus memacu mobilnya lurus ke arah jalan pulang kosanya.

"Kamu nggak berhenti shalat dulu?"

"Malas ah, kamunya juga nanti nggak salat. Mending aku antar kamu dulu, baru aku shalat di mesjid."

Azkia kok rasanya tidak suka ya mendengar nada bicara Jafar seperti itu. Tapi ia malu ingin mengatakan kalau ia pasti akan shalat juga jika Jafar berhenti di mesjid.

"Kamu shalat aja dulu dch. Gak usah antar aku dulu."

"Nggak. Aku nggak mau kamu nunggu di mobil atau musti aku paksa shalat kayak kemarin."

"Ng sebenarnya aku ada bawa mukena hari ini."

Jafar tersenyum licik, "Benarkah? Kenapa tidak bilang?"

"Yah ..." Azkia tidak melanjutkan ucapannya, karena kupikir kamu pasti akan berhenti tanpa aku bilang, pikir Azkia dalam hati

Jafar memutar mobilnya di belokan dekat SPBU dan langsung menuju mesjid yang mereka lewati. Ia sengaja menunggu Azkia masuk ke tempat wudhu wanita terlebih dahulu, sambil memandangi gadis itu dari belakang.

"Lucu kamu Az, kalau dipaksa nggak mempan. Tapi kalau diginikan, kamu cepat nurutnya." Jafar menggelengkan kepala tidak habis piker ternyata rencananya berhasil, tidak lupa ia mengucap syukur Allhamdullah atas perubahan Azkia.

***

Lagi-lagi pagi ini Azkia terbangun sebelum adzan subuh berkumandang. Meski ia paksa tidur, matanya tidak mengantuk sama sekali. Akhirnya ia membongkar kembali copy-an referensi yang telah berhasil ia temukan dan ia stabilo bagian yang ia kutip teorinya. Pekerjaan itu membutuhkan waktu setengah jam juga hingga mendengar adzan berkumandang. Beda dengan kemarin, kali ini langkah kakinya enteng sekali ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Mukena yang dilipat rapi ia kenakan, sedangkan sajadah ia bentangkan dan ia memulai hari itu dengan shalat lalu diakhiri dengan doa agar pertemuan dengan dosennya kali ini membuahkan hasil.

Selepas itu, ia mandi dan berharap Jafar akan kembali menghubunginya.

***

Tapi hingga Azkia memakai pakaian, dan siap-siap berangkat ke kampus, tidak ada telepon dari Jafar. Ponsel Izza bergeming seolah tidak bernyawa. Ia mengecek ponselnya dan mendapati pesan dari bunda Izza yang ternyata pesan dari Izza yang menanyakan kabarnya.

Ada sebersit rasa bersalah yang bersemayam, namun Azkia terlalu menikmati perasaan ini. Berbunga-bunga di perhatikan dan menghabiskan waktu bersama orang yang bisa ia marahi sesuka hatinya namun ironisnya laki-laki itu juga bisa "menjinakannya" tanpa perlu membalas memarahinya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 30, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dear Heart, Why Him?Where stories live. Discover now