Air mata tak ada hentinya mengalir menuruni pipi Jenny. Ia menangis sembari memegang dadanya, merasakan nyeri yang teramat sangat. Kini gadis itu berada di rumah sakit lagi, dengan alasan yang sama, yakni Theo yang terluka. Akan tetapi, kasus kali ini lebih parah. Theo tertabrak truk karena menyelamatkan Jenny. Jenny jadi merasa bersalah akan keadaan Theo. Bahkan dalam hatinya, Jenny selalu menyalahkan dirinya karena tidak berhati-hati. Ia jadi membenci dirinya sendiri yang bertindak sembrono, menyebrang tanpa melihat kanan kiri dahulu.
Sekarang, gadis itu hanya bisa menatap orang yang ia cintai berada di kasur rumah sakit lagi. Theo dengan baju yang penuh darah, begitu pula dengan Jenny. Tragedi tertabraknya Theo karena menyelamatkan dirinya pun masih segar dalam ingatan gadis itu. Bagaimana wajah Theo yang sempat tersenyum kecil setelah menyelamatkannya lalu laki-laki itu tak sadarkan diri. Mengingatnya saja sudah membuat Jenny merasakan nyeri lagi di dadanya.
“Jangan menangis terus, doakan yang terbaik Jenny....” Suara itu membuat Jenny menoleh. Ia mendapati Kakaknya, Jisa, menatapnya dengan raut kesedihan.
“Kakak, hiks....” Jenny segera memeluk Jisa dengan erat. Saat ini Jenny tampak rapuh di mata Jisa. Hal ini membuat Jisa khawatir, sebab selama ini belum pernah ia melihat Jenny sekacau ini.
“Sudah, jangan menangis lagi. Apa kalau kamu menangis, pacarmu akan bangun dengan ajaib? Gak, ‘kan? Sudah ... Cup cup cup.”
Jenny melepaskan pelukannya dari sang Kakak lalu mengusap air matanya dengan punggung tangan.
“Kak Jisa, apa Mama sama Papa sudah kamu beritahu?”Jisa mengangguk. “Tenang aja, Papa Sagara sama Mama Airin bakalan datang beberapa menit lagi.”
Jenny menggeleng, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Kak, aku merasa buruk. Aku ... Aku dulu berkeras diri untuk meninggalkan kalian demi Theo, dan sekarang aku membutuhkan kalian. Hiks....”
“Sst ... Sudah, tidak apa-apa. Kamu tetaplah bagian dari keluarga. Gak ada salahnya kalau kamu minta bantuan dari Mama, Papa, dan aku,” ujar Jisa menenangkan Jenny.
Tak lama kemudian, datang orang tua Jisa dan Jenny. Tampak dari wajah mereka bahwa mereka cemas dengan keadaan Jenny serta Theo.
“Nak, kamu gak apa-apa? Theo gimana keadaannya?” tanya Sagara, Papa Jenny dan Jisa, sembari menangkup wajah Jenny.
Jenny lantas memeluk Papanya itu dengan erat, lalu menangis kembali. “Theo belum sadar, Pa ... Hiks.”
“Astaga ... Kita semua harus berdoa pada Tuhan agar Tuhan menyelamatkan Theo,” ujar Airin, Mama Jenny dan Jisa. Ia menatap Jenny dengan prihatin. Jiwa keibuan Airin keluar. Ia benar-benar merasa tak tega melihat anak bungsunya itu menangis hingga seperti itu.
“Jangan menangis, Jenny.” Sagara melepaskan pelukan Jenny lalu menepuk kepala anaknya itu.
“Papa urus pembayarannya dulu, ya,” ujar Sagara sembari melangkah pergi dari sana.
“Huaaaa ... Mama ... Maafkan aku, Ma ... Dulu aku bersikeras ingin tinggal bersama Theo dan sama sekali tak mengindahkan perkataan kalian. Itu semua kulakukan karena Theo sendirian, Ma ... Maafkan aku, kini aku menyusahkan kalian ... Hiks.” Jenny beralih berlutut dan memeluk kaki Airin. Hal itu membuat Airin serta Jisa terenyuh.
‘Sebegitu besarnya, cinta Jenny pada Theo?’ Pikir Jisa.
Airin menarik Jenny supaya berdiri lagi. “Mama sudah memaafkan kamu, Nak. Sudah, jangan merasa bersalah.”
Bersamaan dengan itu, Sagara sudah selesai membayar biaya dari pengobatan Theo. Ia kemudian melirik ke arah ruangan Theo di rawat, yang mana terdapat celah kaca, sehingga ia bisa melihat ke dalam sana. Saat melihat ke arah ruangan Theo, Sagara mengerutkan alisnya. Ia tampak kebingungan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi Pembawa Petaka (Revisi) ✔
Fanfic[Rombak Total!] JUDUL SEBELUMNYA : LOVE STORY JENKOOK Jika kamu diberikan dua pilihan : 1. Menemani seorang yang sangat kita cintai namun ia sangat berbahaya bahkan untuk nyawa kita sendiri. Atau 2. Dipaksa untuk menikahi sosok yang sifatnya...