Bagian 1-2: Ada Wajah Lain di Hatiku

764 50 7
                                    

LUKA DI BALIK MATA JELAGA
A novel by Pemeluk Sepi

"Memangnya tidak ada yang lain selain aku, Bu?" setiap disuruh ke rumah Bu Linda, aku selalu menolak. Kali ini Ibu bukan hanya menyuruh mampir, tapi menyuruh aku jadi guru private anak bungsu Bu Linda yang baru naik kelas 5 SD itu. Bu Linda itu teman baik Ibu dari kecil. Awalnya aku biasa saja, lama-lama, Ibu sering membicarakan putrinya Bu Linda yang katanya cantik itu. Ternyata Ibu menjodohkanku padanya. Semenjak Ibu mengutarakan perjodohan itu, Ibu jadi suka memusuhi teman-teman wanitaku. Ibu jadi protektif, aku tidak boleh dekat dengan wanita lain selain putrinya Bu Linda.

"Bu, aku belum mau menikah." Ibu membereskan meja makan, sambil sesekali kubantu.

"Yang nyuruh kamu menikah sekarang itu siapa? Ya kenalan dulu." aku sering lupa bahwa Ibuku ini tetaplah wanita. Sulit sekali dikalahkan meski harus kuputar otakku berkali-kali. Aku menyerah setelah perdebatan panjang kita. Keputusan tidak bisa diganggu gugat, nanti sore aku harus datang ke sana. Mulai mengajar anak bungsu Bu Linda.

Aku menghapal alamat rumahnya di sepanjang jalan. Sampai di depan sebuah TK, aku lihat rumah mirip ciri-ciri seperti yang Ibu jelaskan. Ada perempuan sedang menyapu halaman depan, lanjut lagi menyiram tanaman. Merasa diperhatikan, dia menoleh. Ada yang salah dengan jantungku, bukan lagi berdetak kencang, kali ini justru berhenti. Aku menganga tiba-tiba menatap matanya yang hitam bercahaya, seulas senyum menarik kedua sudut bibirnya. Ia tak menaruh curiga pada laki-laki asing yang dari tadi memperhatikan rumahnya. Maksudku, memperhatikannya.

Aku harap dia Aliya. Putri Bu Linda. Yang dijodohkan padaku. Yang ibu sebut-sebut sebagai gadis yang sangat cocok untukku. Cantik. Menawan. Lemah lembut. Mungkin tidak ada yang tidak jatuh pada tatapan matanya, atau lekuk hidungnya. Atau aku saja?

Aku harap dia lah Aliya.

"Aliya?" tanyaku pelan.

"Bukan." aku lemas mendengarnya. Aku tidak tahu namanya, tapi aku sudah mengaguminya.

Salahku terburu-buru menganggapnya sebagai perempuan pilihan Ibu.

Salahku tak lebih dulu mencari tahu.

"Namamu?" tanyaku lagi. Tidak tahu terkena angin apa, dia mungkin tidak akan menjawab.

"Hasna Ghania." jawabnya.

Aku seperti tenggelam mendengar suaranya, namun tiba-tiba, seolah tangan Ibu menarikku kembali ke permukaan. Membawa segudang kenyataan yang harus kutelan mentah-mentah.

Dia bukan pilihan Ibuku.

Hasna Ghania. Aku tahu dari mana sumber paras cantiknya, juga elok nan gemulai gaya bicaranya. Namanya Hasna Ghania, gabungan dari dua kata cantik yang disematkan pada satu karya. Bahkan ada dua kecantikan dalam dirinya, yang semoga selain parasnya juga wataknya.

"Mau antar paket ya mas? Rumah Aliya di sebelah kanan." suaranya itu melengang masuk ke dalam indra pendengarku. Sayup-sayup terdengar seperti nada paling merdu, yang bisa saja aku saat itu juga dininabobokan tanpa ancaman gigitan nyamuk. Pada gelap matanya aku sudah ingin rebah, hingga pada suaranya aku bisa terlelap dan pasrah.

Aku hanya mengangguk. Tak ingin larut dalam pesonanya yang menyihirku, aku masih ingin waras. Ada tugas yang harus kuemban. Ada amanat yang harus kulaporkan. Ada hati yang dipaksa menganggumi. Aku jadi teringat Ibu. Ibu yang begitu mendamba Aliya. Ibu yang pilihannya tak pernah sedikit pun salah. Ibu yang pada kecapan katanya selalu berupa doa. Hingga aku tumbuh dewasa, segala kebaikan yang terjadi adalah karena lirihnya tengah malam mengadu. Aku harus melihat Aliya, perempuan yang sudah dinobatkan jadi istriku tanpa menunggu lagi persetujuanku. Bahkan untuk menatap wajahnya pun aku sering tak mau.

Semua untuk Ibu.

Pintu dibuka. Dari dalam wanita paruh baya itu tersenyum ramah melihatku yang mencoba tersenyum meski kaku. Ia mempersilakan aku masuk, duduk dan menunggu. Selanjutnya, perempuan dengan paras ayu datang membawa nampan. Menyodorkan secangkir teh panas, dengan ditemani sepiring kue putu. Perempuan itu tersenyum manis, mengangguk malu-malu, lalu Bu Linda datang, menyuruhnya duduk dihadapanku, memperkenalkan bahwa dialah perempuan pilihan Ibu. Perempuan yang ibu inginkan. Perempuan yang memancar aura kemuliaannya, seperti makna dari namanya. Aliya.

Tapi ada yang lain di hatiku melihat senyumnya. Bukan getar, bukan debar. Tapi menjalar rasa bersalah, membayangkan akan ada luka yang membuat hatiku ikut meringis perih.

Terhitung dari hari ini, padanya aku menatap hampa tanpa rasa. Aku hanya menghormati mulianya. Aku hanya kagum pada manisnya. Ada wajah Ibu di wajahnya, tapi ada wajah lain di hatiku.

Maaf Ibu, lirihku dalam hati.

Bersambung...

Luka Di Balik Mata JelagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang