Bagian 7: Hati Perempuan

215 21 3
                                    

(Author)

"Afnan..."

"Ya?"

"Hati-hati."

Afnan mengangguk.

"Terima kasih." kata Hasna lagi, kali ini lebih pelan.

Akhir-akhir ini mata Aliya sulit terpejam ketika mengingat kembali Afnan mengantarkan Hasna pulang waktu itu. Ada kelabu yang membungkus rapat dadanya, dan mendung bermuara di matanya, meski enggan menjatuhkan air lewat pipinya.

Ia tidak bisa menangisi sesuatu yang belum jelas benar atau salah, ia masih abu-abu menilai hubungan antara Afnan dan Hasna. Bahkan Aliya melihat sendiri bahwa Hasna baru mengenal Afnan di acara workshop kemarin. Jadi tidak menutup kemungkinan bahwa keduanya pulang bersama hanya kebetulan. Pada hari itu seharusnya Hasna pulang bersamanya, hanya saja Aliya lebih memilih pulang lebih dulu karena ia tidak ingin berada dalam satu forum bersama Afnan untuk kedua kalinya.

Aliya jelas menghindari Afnan hari itu. Dan Hasna pasti akan bertemu Afnan lagi sesudah acara. Ia sudah menduga dan memilih meninggalkan Hasna sendiri di sana, karena gadis itu masih ingin menemui Fadil.

Aliya tahu Afnan belum sepenuh hati menerimanya, bahkan setengah hatinya pun tidak. Ia bahkan sudah mengatakan pada Afnan bahwa ia tidak keberatan jika harus digagalkan. Sebab berada pada ketidakjelasan justru semakin menyakitinya. Tapi laki-laki itu memilih diam dan tidak bertindak apa-apa. Ia digantungkan, dibiarkan begitu saja, tapi pada waktu yang sama, laki-laki itu tebar pesona pada wanita lainnya. Tentu ini menyakitinya, meski ia mengaku baik-baik saja.

Aliya membuka laptopnya, log in pada akun yang biasa ia gunakan untuk menulis, lalu mengetikkan sesuatu di sana.

Saya tidak apa-apa jika kamu ingin memilih, dan nama saya bukan pilihanmu bahkan tidak masuk ke dalam pilihan. Saya belajar tabah, bahwa segala sesuatu yang bukan milik saya tidak akan bertahan lama di sisi. Sementara yang ditakdirkan untuk saya, akan datang menghampiri sejauh apapun ia berada. Saya lebih dulu menguatkan hati jauh sebelum mengenalmu, itu artinya, jika kamu masih ingin mencari, saya persilakan tanpa berat hati.

Tapi tolong, jangan diam di tempat, di dekatmu dengan menghadapi segala dinginmu membuat saya terluka, membeku dan hampir mati.

— aly

Setelah Aliya menyelesaikan tulisannya, ia menekan pilihan publikasi. Detik berikutnya, daftar tulisannya bertambah. Ia biasa menulis di akun semacam blog, di sana ia bisa melihat jumlah pembaca dan melihat jumlah pengikutnya. Aliya tersenyum begitu angka pada pembaca yang semula nol berubah menjadi angka dan terus bertambah.

Lalu komentar pertama masuk, ia menyerngit, sementara ini, tulisannya jarang dibubuhi komentar para pembaca. Sebab hanya berisi penggalan puisi dan cerita singkat tidak lebih dari 2000 kata. Aliya membuka pemberitahuan masuk, internet loading, lalu beberapa detik berikutnya menampilkan isi komentar.

Suarasenja: begini hati perempuan sedang abu, dibiarkan jadi tulisan, lalu air matanya sampai ke hati pembaca tanpa melewati merah pipinya.

Aliya menggigit bibir bawahnya, dilihat dari tulisannya, mungkin ia laki-laki. Tapi Aliya enggan menduga, tidak perlu, toh dia hanya satu dari sekian banyak pembaca yang mungkin sedang ingin meninggalkan jejak.

Ia menopang dagu, pikirannya kembali melayang, wajah Afnan dan senyum kakunya terlintas cepat di sana. Secepat suara pintu gerbangnya terbuka, lalu berganti suara berat Ayahnya menggelegar berupa salam di sana. Aliya tersenyum, Ayahnya seorang dosen di Bandung. Seminggu sekali bahkan sampai sebulan sekali baru bisa pulang ke rumah.

Luka Di Balik Mata JelagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang