Bagian 3: Pilihan yang Dimatikan

434 31 7
                                    

Aku tidak tahu apa yang Bu Linda coba tanyakan, aku hanya mengangguk kemudian menggeleng, sesekali tersenyum paksa, sesekali menunduk. Aku tak benar-benar tahu apa yang Bu Linda ingin tahu dariku, aku bahkan tak pernah membayangkan akan duduk di hadapan calon mertua sekaligus calon istri dengan perasaan seperti ini.

Yang kubayangkan pada masa depanku, saat aku sudah siap duduk di hadapan orang tua calon istriku, jantungku tidak akan berhenti berdetak kencang, aku akan bingung harus menjawab apa, dan akan bertanya apa. Aku akan melirik malu-malu pada pekat bola mata wanitaku, wanita yang nantinya akan kutatap setiap waktu. Aku akan malu-malu menyentuh hidangan yang disuguhkan, dan ia akan menahan tawa melihat perlakuanku.

Tidak begini. Aku tak pernah mendamba kejadian seperti ini. Kejadian kaku di mana perasaanku hampa tanpa rasa.

"Nak Afnan Qowi, Ibumu sudah sering cerita. Katanya, putra satu-satunya ini pendiam... Ternyata benar ya?"

Bu Linda terkekeh di sela-sela kalimatnya. Aku mengangguk, ternyata sudah sejauh itu Ibu menjelaskan karakterku. Sejauh harapan Ibu, bahwa nantinya, Aliya lah perempuan kedua yang akan memahamiku.

Namaku Afnan Qowi, yang tertampan dan kuat perkasa. Ibu pilihkan nama itu agar aku menjadi laki-laki yang tumbuh dengan jiwa ksatria. Laki-laki yang tak hanya mengandalkan rupa karena aku memang rupawan. Laki-laki yang kuat menerima segala macam cobaan dengan bekal harapan dari sebuah nama.

"Kalau Aliya ini juga pendiam, tapi kalau sudah kenal, dia gadis yang suka bercerita." aku mengangguk-angguk, tidak terlalu minat mendengarkan.

Aku melirik jam tangan, sudah hampir pukul empat tapi aku belum juga melihat Bu Linda memanggil anak laki-lakinya. Bukankah tujuanku datang kemari untuk mengajar les private, mengapa jadi seolah-olah aku dijebak untuk menemui Aliya. Apa ini rencana Ibu?

"Maaf, Bu Linda, Dek Syakir apa sudah siap?"

"Siap apa ya?"

"Belajar." aku mulai curiga. Bu Linda tidak tahu apa-apa.

"Oh, Syakir lagi futsal hari ini. Ibumu nggak cerita kalau hari ini cukup kita bicarakan akadnya saja?"

"Akad?" aku memekik, ini di luar dugaanku. Ibu tidak bilang apa-apa kalau kita akan berbicara sejauh ini. Bukankah yang tak pernah dekat, tak bisa membicarakan hal-hal yang begitu jauh ?

Aku memberanikan diri melirik Aliya, ia mengangguk membenarkan.

"Tapi saya belum siap."

Bu Linda mengerutkan keningnya, "Lalu kapan Nak Afnan siap?"

Aku menggaruk tengkukku, sesekali menggigit bibir bawahku. Aku belum siap dan tidak tahu kapan akan siap. Membangun semua itu tidak mudah, terlebih jika dari awal aku memang sudah tidak bisa menaruh rasa apa-apa. Hanya demi Ibu aku kemari, andai Ibu bisa mengerti bahwa aku tidak ingin dia, andai Ibu tak memaksa, andai Ibu paham aku ingin mencari sendiri pendampingku. Maka tidak akan pernah pada tempat ini kakiku berdiri.

"Saya tidak tahu. Bukankah ini terlalu cepat?"

"Hal-hal baik memang harus disegerakan, Nak. Lagian Syakir itu malas belajar, kalau ditunda-tunda terus takutnya makin malas dan nilainya makin turun."

Sebentar,

"Syakir? Ini maksudnya akad tentang apa?"

"Nak, akad tentang les privat. Nak Afnan bisanya kapan, dan enaknya hari apa saja? Kan semua harus jelas dibicarakan."

"Oh ya Allah, saya kira akad..."

Aku dengar sayup-sayup suara tawa Aliya. Lembut sekali. Seperti suara nyiur pada pagi hari, diterpa angin dengan basah-basah embun. Ia tertawa, anggun sesuai namanya. Tidak membahana seperti wanita-wanita di luar sana, yang hilang izzah juga iffahnya. Ia menunduk selama kita saling berhadapan, meringkuk tubuhnya menyembunyikan malu dari kedua pipinya. Seharusnya laki-laki sepertiku tanpa berpikir panjang akan mudah jatuh cinta, apalagi dengan sihir kelemah-lembutan yang menguasai dirinya.

Luka Di Balik Mata JelagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang