Bagian 5: Aku Mencintainya

321 24 4
                                    

Sepanjang acara yang diisi oleh Bang Fadil, aku tidak bisa konsentrasi. Tentu saja tidak bisa setelah mendengar suara Aliya begitu lembut membangunkanku dari khayalan untuk segera kembali pada kenyataan bahwa memang dia lah calon tunggal yang akan menjadi istriku. Tidak ada kandidat lain, meski dalam hatiku terbesit nama lain.

Aliya menyihirku dengan kelemahlembutan yang tidak bisa kudapatkan dari perempuan manapun, tak terkecuali Ibu. Ibu menenangkan dengan hangat dan sikap bijaknya. Sementara Aliya, dengan mendengar suaranya saja aku dihipnotis, seperti harus menuruti yang ia katakan. Ia belum menjadi istriku, tapi sudah mampu mengendalikanku.

Ia mampu memorakporandakan pilihanku. Hingga bayangannya masuk setengah dalam benak, bersanding dengan bayangan Hasna yang masih jelas memukau. Awalnya bahkan tidak ada namanya menjadi pilihan, hanya Hasna dan segala kecantikannya. Sementara nama Aliya hanya kuingat sebatas keputusan yang Ibu tekankan tanpa diperbolehkan adanya penolakan. Tapi terhitung barusan, Aliya mematahkan presepsiku padanya, ia memukau, anggun, dan menakjubkan dengan gayanya yang sembunyi dan memohon disembunyikan.

Sebanyak itu alasanku memilih Hasna, tiba-tiba meragu dengan gejolak yang Aliya datangkan di dadaku. Ada gemuruh baru yang tak bisa kuartikan secepat itu, ada perasaan haru menyelinap begitu mengingat tunduk malunya yang kokoh istikomah tanpa ragu. Ia tetap menunduk bahkan saat kita berempat saling bertatap, ia tetap menyembunyikan warna matanya, hanya sesekali tersenyum sebagai tanda bahwa ia berdiri di antara kita yang asyik bicara.

"Hai?" suara itu melengang masuk ke dalam indra pendengarku, menggunggah lamunanku tentang masa depan yang perlu kupikirkan matang-matang. Sebab masa depan ini tidak hanya menyangkut aku, tidak hanya menyangkut baktiku pada Ibu, tetapi juga hitungan pahala tiap waktu yang mesti aku pertanggungjawabkan di hadapan Tuhanku. Aku tidak bisa menganggap sepele masalah ini, ini masalah ibadah terlama, ibadah yang pada tiap kedipan matanya berbuah pahala tanpa harus letih meminta pada-Nya, ibadah yang diminta dengan sangat oleh sebagian lainnya tapi susah bagi mereka menjaganya. Aku tidak ingin gagal pada ibadahku ini, sebab mempertahankan lebih sulit dari pada memilih. Yaitu, ibadah membina rumah tangga.

Dalam ibadah sholat, hanya antara aku dan Rabbku. Dalam ibadah puasa, hanya antara aku dan Rabbku. Dalam berbakti pada Ibu, hanya antara aku, Ibu dan Rabbku. Tapi dalam berumah tangga, ini menyangkut orang banyak, pernikahan tak hanya mengaitkan dua hati. Ini antara Aku, dia. Ibuku, ibunya. Keluargaku, keluarganya. Pernikahan bukan hanya hubungan antara dua cinta, tapi dua keluarga.

Aku mendongak, menatapnya, terkejut. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Jilbab merah muda, dengan blazer kotak-kotak yang panjang sampai sebawah lutut, juga celana ketat yang hanya biasa dilihat dari atas mata kakinya. Cukup bagiku tahu bahwa dialah perempuan yang memabukkan, yang membuatku terlena, membuatku diperbudak asmara.

Hasna berdiri, di samping mejaku. Dengan senyum canggung yang ia tawarkan cuma-cuma untuk aku nikmati. Aku tidak memikirkannya, tapi ia justru langsung datang ke hadapanku.

Hasna tersenyum semakin lebar melihat aku begitu terkejut. Mungkin aku melongo, aku tidak sadar. Entahlah, ini terasa asing dan manakutkan. Jarak dekat antara kita dengan seseorang yang kita sukai sama sekali bukan ide yang bagus, ini terlalu horor bagiku, aku tidak bisa berkutik bahkan untuk sekedar membalas sapaannya. Hilang sudah Aliya, hilang bayangnya, berganti Hasna, penguasa hatiku yang semula.

"Hai, Mas Afnan. Boleh ya saya duduk?" katanya lagi, karena melihatku tak menjawab apa-apa.

"O-oh, boleh." jawabku cepat.

Hasna duduk di hadapanku. Dari sekian banyak meja-meja kosong di stan-stan makanan ini, mengapa ia memilih meja ini?

"Bang Fadil bilang kalau sudah selesai saya disuruh cari Mas Afnan, katanya, pasti dia akan datang ke tempat Mas Afnan duduk. Ada yang harus saya tanyakan..."

Luka Di Balik Mata JelagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang