Bagian 6: Selamat Malam, Hasna

261 21 3
                                    

Pagi-pagi Ibu sudah bergegas keluar rumah menuju tukang sayur yang biasa memberhentikan gerobaknya di depan pos kamling. Pukul setengah enam biasanya Ibu sudah berangkat dan akan kembali satu sampai satu setengah jam, tapi pagi ini baru setengah jam Ibu sudah buru-buru pulang ke rumah dengan beberapa kantong plastik berisi belanjaan yang memenuhi kedua tangannya. Aku segera bangkit menghampiri Ibu yang susah payah membawa hasil belanjanya, Ibu terlihat sumringah menatapku menenteng plastik-plastik itu.

"Nanti menjelang siang tolong kamu ambilkan pesenan Ibu di Bu Ramlan ya, Ibu pesen kue." aku mengangguk tanpa berniat bertanya untuk apa Ibu memesannya. Ibuku ikut arisan bersama Ibu-ibu komplek lainnya, mungkin saja kali ini arisan jatuh ke tangannya hingga bersiap-siap dari pagi.

"Hari ini kamu nggak kemana-mana, kan?" Ibu bertanya lagi seraya merapikan hasil belanjaan di meja dapur, memasukkan beberapa sayur ke dalam kulkas dan beberapa lainnya siap dimasak. Ibu tersenyum penuh makna, aku belum menaruh curiga apa-apa, hanya saja dari senyumnya, Ibu seperti sedang merencanakan sesuatu.

Aku menggeleng, dan disambut senyum lebarnya yang ceria. Senyum Ibu yang merekah seperti hari ini adalah sumber kebahagiaan terbesarku. Aku ingin berlama-lama melukis senyum di bibirnya, dan tidak akan kubiarkan siapa saja mencuri senyum itu dari hidup Ibu. Sekali pun harus kukorbankan perasaan dan kebahagiaanku. Lalu detik berikutnya Hasna melintas tiba-tiba dalam benakku, memikirkan kebahagiaan Ibu seperti menancapkan tombak ke dalam dadaku, sebab saat itu juga aku langsung teringat Hasna dan kehancuran-kehancuran relung batin yang aku sembunyikan demi mengedepankan pilihan Ibu. Aku tidak ingin dibebani cinta, biar mengalir seiring berjalannya waktu. Tapi semakin berjalan, semakin besar pula rasaku. Meski tidak pernah dia menyiramiku dengan percik-percik kasih, tapi perasaan ini kian tumbuh dan tangguh.

"Nanti ada tamu, Ibu undang makan siang di sini. Kamu jangan lupa pakai baju yang rapi, yang wangi biar ganteng."

Aku menyerngit geli, mengapa aku jadi terkesan seperti anak gadis yang mau dipinang laki-laki anak juragan, kok jadi kita seperti sedang menungu calon keluarga besan berkunjung ke rumah?

"Memangnya siapa?"

"Bu Linda."

Lalu wajah sendu dan suara pilu Aliya membungkam bibir dan daya pikirku. Benar saja aku seperti gadis dalam pinangan, hanya saja kali ini, posisiku adalah laki-laki. Pejaka dalam masa penantian, karena jodohnya sedang menuju ke kemari untuk makan siang. Geli aku membayangkan, mengapa pihak perempuan yang harus datang?

Aku hanya mengangguk mengiakan, lalu kembali membantu Ibu beres-beres hasil belanjaan untuk mengisi stok barang-barang dapur.

Pikiranku harus kembali diingatkan oleh sosok Aliya yang sempat sejenak hilang membayangiku semenjak aku mengatarkan Hasna pulang waktu itu. Aku tidak sampai hati memikirkannya sebab bunga-bunga bahagia sedang mekar indah dalam benakku, dan ingin segera kubangun megah istana bunga di sana. Akan kusirami juga kuberi pupuk agar tetap tumbuh dan indah di pandang mata.

"Nanti kita bicarakan juga perihal hubungan kalian, ya Nan? Kasihan kan kalau mereka harus nunggu lama." Ibu berucap dengan tangan yang sibuk memotongi wortel. Aku memerhatikan dari meja makan seraya menyantap roti isi keju yang sebelum berangkat membeli sayur Ibu terlebih dulu menyiapkannya untuk aku sarapan. Sudah menjadi kebiasaan Ibu menyiapkan segala kebutuhanku meski aku sudah dewasa seperti sekarang, dan Ibu ingin tugas ikhlasnya digantikan oleh sosok idamannya, Aliya.

"Memangnya harus secepat itu, aku kan juga belum kenal betul sama Aliya." Aku berusaha membela diri, berharap Ibu memikirkan lagi keputusannya matang-matang sebab ini menyangkut urusan seumur hidup, bahkan urusan sampai aku kembali dibangkitkan untuk dimintai pertanggungjawaban.

Luka Di Balik Mata JelagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang