Bagian 11: Menatap untuk Menetap

186 13 7
                                    

Sebenarnya, hari ini aku tidak berniat mengajaknya makan bakso. Aku hanya berusaha menepati janji waktu itu, aku berjanji untuk makan di lain waktu saat kita sama-sama bertemu di pujasera.

Tapi entah yang keluar dari bibirku justru warung bakso belakang kampus, Hasna melemahkan daya pikirku, juga kesadaranku. Aku benar-benar dibuatnya salah tingkah. Padahal yang dilakukan Hasna sebenarnya biasa saja, aku saja yang berlebihan, panas dingin sendiri. Mungkin karena aku tahu, jalan yang kutempuh saat ini adalah kesalahan.

Aku berdiri di tengah dilema, melanjutkan karena mementingkan perasaan, atau harus berhenti karena menjunjung tinggi kebenaran.

Seharusnya aku tidak perlu memikirkan ini terlalu dalam, aku harus tahu di jalan mana aku berdiri. Tapi talbis iblis menggorotiku di tengah alam sadar. Aku sadar dipermainkan, namun aku tetap menikmati permainan.

Apakah cinta memang membuat orang tanpa sadar menjadi buta atau sebenarnya hanya memilih buta?

"Afnan?" dari tadi rupanya Hasna mengajakku bicara, aku tidak mendengar karena terlalu dalam larut dengan pikiranku.

Aku mengangguk.

"Maaf..." kataku pelan.

Hasna tersenyum menenangkan. Semerbak hangat di dadaku. Aku seperti ditiupkan kekuatan untuk lebih kuat menggenggam namanya setelah sebelumnya aku sempat lunglai. Bukankah seharusnya aku mencari perempuan seperti Hasna? Yang menangkan saat aku gelisah, memeluk luka, meredam marah, menggenggam kekurangan serta menghangatkan dada?

Aku merasa menang karena pilihanku sepertinya benar.

"Enak baksonya?" tanyaku basa-basi. Aku bingung harus bertanya apa.

Hasna mengangguk.

"Ohiya, Afnan, habis ini skripsi?"

"Sudah, lagi nyusun." jawabku, aku jadi kehilangan selera jika diingatkan tentang hal itu.

"Abis lulus mau ke mana?" tanya Hasna.

"kalo bisa kerja."

"...guru?" tanya Hasna hati-hati. Aku masuk jurusan sastra dengan prodi pendidikan emang biasanya akan menjadi guru. Entah mengapa, sederhana saja cita-citaku. Tapi, pekerjaanku sudah disiapkan justru saat aku masih sekolah. Aku kuliah hanya untuk memuaskan diriku sendiri, aku pernah menempuh pendidikan ini. Tapi pekerjaanku nanti tidak ada hubungannya dengan kuliahku saat ini.

Sebenarnya aku memiliki kewajiban untuk mengurus usaha Ayah yang sudah lama terbengkalai, diurus seadanya oleh Ibu dan keluarga Ayah. Aku belum boleh turun sampai aku mendapat gelar sarjana.

Ayah punya usaha yang lumayan jalan di bidang pakaian lebih tepatnya batik. Ayah asli Pekalongan, usaha batiknya sudah luas di seluruh pelosok Indonesia. Sementara ini, masih berjalan namun tidak maksimal semenjak Ayah pergi. Sebagai anak satu-satunya, apalagi laki-laki, itu sudah menjadi kewajibanku untuk meneruskan. Apalagi sekarang era digital, itu tugas besar bagiku untuk kembali mengibarkan sayap. Zamanku dibantu media sosial, aku bisa berkerja sama dengan selebgram, artis dan lain-lain untuk endorse, paid promote dan lainnya. Semua sudah aku pelajari. Bismillah, sebentar lagi

Aku menggeleng.

Hasna terlihat mengerutkan kening, bahkan kedua alisnya yang melengkung cantik itu hampir saja bertaut. Aku tersenyum sedikit, hampir tak kentara.

"Aku mau bisnis." Hasna mengangguk mengerti mendengar jawabanku. Aku merasa didukung, dibesarkan, padahal hanya anggukan kepala dan senyumnya yang tenang menjadi jawaban.

Aku benar-benar mabuk, meneguk air mukanya terlalu banyak membuatku keyapang.

"Kamu mau ambil minor apa?" tanyaku, Hasna nampak berpikir sebentar, ia terlihat ragu-ragu. Aku begitu mudah menebak suasana hatinya, Hasna menampilkan pada seribu ekspresi di wajahnya. Dia memang ekspresif. Aku menaikkan alis, menanyakan sekali lagi lewat isyarat.

Luka Di Balik Mata JelagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang