Bagian 10: Luka Pertama

168 15 3
                                    

Suarasenja: hai, aly.

Aliya mengerutkan keningnya, ada pesan masuk di akun menulis miliknya. Siapa sebenarnya suarasenja ini, setiap apapun yang ia publikasikan, orang ini selalu memberi tanggapan. Dan hari ini, ia mengirimkannya pesan.

Hai. Ketik Aliya, lalu menekan tombol kirim. Siapapun itu, toh dia juga tidak tahu siapa orang di balik akun aly.

Suarasenja: salam kenal, saya senja.

Aliya mengangguk.

Aly: iya, salam kenal.

Suarasenja: namamu?

Aly: Seperti yang terbaca.

Suarasenja sedang mengetik...

Aliya mengembalikan layar, sembari menunggu Senja menjawab, ia kembali melihat beranda akunnya. Membaca tulisan-tulisan yang ditulis orang lain atau sekedar disalin oleh mereka.

Suarasenja: aly seperti nama laki2.

Aly: kalau laki2 knp?

Suarasenja: gpp, sama.

Aliya tanpa sadar terkekeh, geli sendiri membaca nama itu ternyata dimiliki oleh laki-laki. Tidak dibayangkan sebelumnya, sebab senja, jingga, matahari, identik dengan perempuan menurutnya.

Suarasenja: bener laki?

Aly: menurutmu?

Pesan hanya terbaca, tidak ada jawaban sesudahnya. Aliya menunggu beberapa menit, begitu akun tersebut menunjukkan tidak aktif, ia ikut menutup aplikasi. Aliya memilih tidak peduli, toh ia juga tidak kenal siapa orang di balik akun itu.

Sementara Fadil yang sibuk dengan laptop dan berlembar-lembar kertas berisi tulisan-tulisan barunya tiba-tiba berhenti begitu membaca nama tokoh perempuan yang ia pilih kali ini.

Alya

Lalu wajah Aliya terbesit begitu saja dipikirannya. Wajah lugunya, wajah penuh kehangatan dan kelembutan. Yang tanpa direngkuh, Fadil merasa berada di pelukan seseorang. Ia sengaja menggunakan nama Aliya, agar ketika ia menulis, ia semakin melibatkan hati.

Sebab, yang ditulis dengan hati, akan sampai ke hati.

Fadil menghela napas lelah, kedua tangannya ia rentangkan panjang-panjang, punggungnya ia sandarkan rapat-rapat. Kedua matanya terpejam, menarik napas pelan, lalu mengembuskan lembut.

"Hah...Aliya Aliya." gumamnya.

Lantas Fadil meraih ponselnya, mengetik pesan singkat yang berulang kali ia hapus. Lalu menulis lagi, sampai akhirnya ia dorong pelan ponselnya, urung mengirim pesan. Namun baru beberapa detik, Fadil meraih lagi ponsel itu, mengetik beberapa kata lalu mengirimkannya saat itu juga.

Ia harap-harap cemas menunggu jawaban masuk. Semakin ditunggu, semakin terasa lama. Fadil putus harapan, mungkin tidak akan pernah ada jawaban, ia hanya sedang menunggu ketidakpastian.

Namun di tengah perasaan cemasnya, ponsel itu bergetar. Ada pesan masuk, Fadil tak menunggu nanti. Ia tarik kembali ponselnya, dengan lihai tangannya menggeser layar, membuka pesan yang dari ia tunggu jawabannya.

Siapa ya?

Fadil. Ingat saya, Aliya?

Oh, apa kabar?

Fadil tersenyum.

Cukup membuatnya bahagia ketika Aliya ternyata tak secuek yang ia bayangkan. Ditanya kabar membuat Fadil merasa bahwa Aliya membuka jalan masuk untuknya. Tidak muluk-muluk padahal keinginannya, cukup diingat. Namun ekspektasinya melebihi realita, Aliya justu menanyakan kabarnya.

Luka Di Balik Mata JelagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang