(Author)
Seharusnya ia tahu nanti akan ada luka. Sebab sebelum memulai, belati jadi senjata utama untuk menuntaskan pertanyaannya.
Aliya termenung, alam bawah sadarnya membawa ribuan pertanyaan, tentang apa, bagaimana, kapan, di mana, dan kenapa segalanya terjadi. Ia tidak meminta, ia tidak menawarkan diri untuk diminta, ia tidak jatuh cinta. Namun takdir membawanya pada satu nama, yang sekarang merasuki tiap detik jalan pikirnya. Tiap kali Aliya berusaha berbelok, nama itu menjadi penunjuk jalan yang selalu ia temui di mana-mana.
Ini bukan kuasanya, seandainya pun segalanya akan berujung pada cinta, Aliya hanya bisa pasrah. Menunggu waktu membawanya menjauh, seperti waktu membawa laki-laki itu mendekat. Ia pasrah, dipermainkan waktu, diduakan kenyataan.
"Kenapa belum tidur?"
Aliya melongok, Bu Linda tersenyum di ujung pintu. Putrinya biasa mematikan lampu jika ingin terlelap, namun sampai jarum jam menunjuk pada angka sebelas, kamar itu masih terang menyala.
Bu Linda masuk, duduk di pinggir tempat tidur. Sementara Aliya masih betah berlama-lama di depan meja belajar.
"Belum ngantuk, Umi."
Bu Linda tersenyum, ia menghampiri putrinya, mengelus lembut puncak kepalanya. Lama ia timang-timang, dibesarkan sepenuh hati, dididik sekuat tenaga. Namun jika karena satu persoalan saja Aliya goyah, dia adalah orang yang pertama kali tidak terima. Bu Linda ingin putrinya selalu bahagia, seandainya ia bisa meminta, ia pasti akan menukar porsi pembagian dunia tentang suka dan duka yang sepaket, menjadi suka dan suka khusus untuk Aliya. Biar duka Aliya miliknya, ia ganti dengan sukanya.
"Kalau Aliya ragu, Aliya bisa bilang Umi, biar Umi bantu cari solusi."
Aliya menggeleng, "Bukan ragu," ia menelan ludah sebentar. "...Aliya cuma nggak ngerti, sebenernya apa yang Aliya rasain?"
"Coba kasih Umi gambaran Nak,"
"Gimana kalau dia, keliatannya baik-baik aja soal perjodohan ini. Tapi, diam-diam dia...dia..."
Bu Linda mengangkat sebelah alisnya, "Dia?"
"..." Aliya menggeleng, ia tidak tahu harus menjelaskan apa. Sebab tidak bisa ia bicara tanpa bukti, tidak bisa seenaknya Aliya mengatakan kalau Afnan diam-diam jatuh cinta pada perempuan lain. Perkataannya hanya didasari prasangka, Aliya tidak tahu ini benar atau hanya perasaannya saja? Tapi Afnan jelas-jelas mengatakan kalau Hasna cantik.
"Dia kenapa? Diam-diam dia ngapain? Hayo, anak Umi mau nyembunyiin apa nih?" goda Bu Linda.
Aliya mendengus, "Dia bilang kalau..." ia menggigit bibir bawahnya, lalu menoleh pada Bu Linda yang masih sabar menunggu.
"Dia bilang kalau perempuan lain cantik?" lanjut Aliya cepat, lantas kembali menghadap depan, tidak berani melihat ekspresi wajah Bu Linda.
Tapi, Uminya itu justru terkekeh.
"Kalau dia bilang perempuan cantik, menurut Aliya gimana?"
Aliya menggeleng.
"Aliya masih inget kan, salah satu kriteria laki-laki idaman yang dijelasin sama Ustadz di pengajian kemarin?"
Aliya mengangguk.
"Apa salah satunya?"
Aliya mengerti maksud pembicaraan Bu Linda.
"Menundukkan pandangan."
"Nah, kalau dia berani memuji perempuan itu cantik, apalagi dia dalam keadaan sedang melamar anak gadis orang, kira-kira dia menundukkan pandangan atau enggak?"
![](https://img.wattpad.com/cover/164649849-288-k635163.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Di Balik Mata Jelaga
SpiritualAfnan lahir dari keluarga yang sarat akan nilai agama, Ibunya tiba-tiba mencarikan pendamping hidup tanpa sepengatahuan Afnan. Demi janjinya pada diri sendiri untuk membahagiakan Ibunya, Afnan bersedia meski dengan berat hati menemui perempuan yang...