Bagian 4: Dua Luka

314 26 12
                                    

Hari ini rencananya aku akan datang ke acara workshop yang diadakan di kampus sebelah, kebetulan pengisi acara atau narasumbernya Bang Fadil. Dia adalah kakak kelas sekaligus sahabat karib yang sudah aku anggap Abang sendiri. Kita gagal masuk ke kampus yang sama, padahal dari SD sampai SMA selalu sekolah di tempat yang sama.

Bang Fadil ini penulis yang menjadi inspirasiku. Buku-bukunya banyak yang berjajar rapi di toko buku seluruh Indonesia. Dia mengambil genre Romance, tetapi selalu dibubuhi ajaran agama yang menancap ke dada-dada pembacanya. Termasuk aku. Selain menginspirasi, dia juga menjadi tempatku mencari solusi ketika ada masalah. Hanya saja, aku belum sempat bertemu dengannya beberapa minggu ini karena dia sibuk mengadakan bedah buku di beberapa daerah. Jadi untuk masalah perdebatan hati yang akhir-akhir ini hampir menguras habis akal sehatku, belum sempat kuceritakan padanya. Mungkin karena sama-sama anak tunggal, juga sama-sama memiliki keinginan kuat untuk membahagiakan sosok Ibu apalagi kita berada di jurusan yang sama, aku dan Bang Fadil nyambung bicara panjang lebar. Menyangkut urusan kampus, pekerjaan sampai masalah paling anti dibicarakan kaum lelaki, masalah hati dan pernikahan.

Aku lihat Bang Fadil sedang sibuk briefing bersama tim penyelenggara, dari kejauhan dia memang paling menonjol. Paling jangkung diantara lainnya. Aku menunggu di stan makanan bersama rekan kita lainnya, dekat dengan tempat acara nantinya akan dimulai.

Bang Fadil melambai ke arah kami, lalu mengacungkan jempol. Mengisyaratkan bahwa ia akan segera mendatangi kita setelah semuanya beres. Aku mengangguk, yang lain juga mengiakan dengan gerakan tangan.

"Kita makan di sini aja lah, sampai acara selesai. Lagian kan suaranya kedengeran sampe sini juga." saran Satria begitu melihat bahwa kebanyakan dari peserta yang datang adalah kaum hawa. Aku terkekeh, ya namanya juga acara bedah buku Bang Fadil yang seringnya bertema percintaan, pasti digandrungi kebanyakan dari mereka. Ide Satria disetujui Haris, padahal barusan dia yang menggebu-gebu ingin datang, sampai di sini malah gugur keinginannya masuk ke dalam aula karena melihat peserta laki-laki yang hanya bisa dihitung jari.

"Gimana, Nan, lo kan seneng cerita menye-menye gitu."

Hahaha, sialan. Aku tertawa. Kita berempat, Aku, Satria, Haris dan Bang Fadil memang sudah akrab sejak duduk di Sekolah Dasar. Pasalnya dari SD sampai SMP kita tinggal di satu komplek, barulah saat SMA aku memutuskan pindah rumah semenjak Ayah tiada. Lalu disusul Satria yang juga ikut pindah karena masa kontrakannya habis. Hanya Bang Fadil dan Haris yang masih tinggal di daerah lama kita. Tapi, kita berempat masih tetap akrab sampai sekarang meski masing-masing kita beda tahun lahir, dan beda angkatan.

"Masuk lah sebentar..." jawabku.

Satria dan Haris sama-sama menghela napas kesal, "Masuk sendiri aja deh, nanti kita tunggu sini."

Aku mengangguk saja. Aku juga ingin dengar materi yang akan disampaikan Bang Fadil. Mungkin saja bisa jadi bahan mengerjakan tugas kampus. Tak heran juga kalau mereka berdua enggan, pasalnya mereka berdua berbeda jurusan dengan Aku dan Bang Fadil.

Aku masuk ke dalam aula, menyalaminya di sebelah pintu masuk, lalu kita ngobrol santai sambil menunggu acara dimulai. Aku perhatikan Bang Fadil dari tadi memutar kepalanya, sesekali menyapu habis sekitar kami, seperti mencari sesuatu yang hilang.

"Kanapa, Bang?" tanyaku, mengobati penasaran.

Ia menggeleng, "Nggak, gue lari nyari orang, katanya dia mau dateng."

Aku mengangguk, "Emang acara mulai jam berapa?"

Bang Fadil melirik jam yang melingkar di pergelangannya, "Sebentar lagi sih, lima belas menit lagi."

"Oh itu!" Bang Fadil melambai ke gerombolan peserta yang baru saja mengisi daftar hadir, ia tersenyum lega begitu seseorang yang dicarinya terlihat di antara mereka. Lantas ia kembali memasukkan tangannya ke dalam saku seperti kebiasannya.

Luka Di Balik Mata JelagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang