Bagian 8: Bidadari Tak Bersayap

231 14 3
                                    

"Menurut lo, Aliya itu cewek yang kaya gimana?"

Aku sedang duduk berdua dengan Bang Fadil di warung kopi pinggir kampusnya. Hari ini dosen yang seharusnya mengajar kelasku memberi info kalau beliau tidak bisa datang. Jadi kegiatan kuliah kosong sampai nanti sore. Aku memutuskan datang ke warung kopi tempat anak-anak dari kampusku dan kampus Bang Fadil ngumpul. Meski terkadang bersaing, tapi kami tetap asyik duduk dalam satu forum untuk sekedar bersenda gurau dan bertukar pikir.

Bang Fadil tiba-tiba menanyakan sesuatu yang membangunkanku, semula tentang Aliya aku hampir saja lupa, lalu diingatkan kembali dengan semena-mena. Seenaknya Bang Fadil menyebutkan nama itu, seolah mengejekku yang baru saja menari-nari bahagia sebab akhirnya bisa berbagi cerita dengan Hasna.

"Aliya?" aku pura-pura berpikir.

Bang Fadil menyerput kopinya, lalu menepuk meja pelan. Mengutuk daya ingatku yang katanya rendah ini. Aku tersenyum lebar menanggapi, meski dia tidak tahu, aku tidak akan semudah itu melupakan Aliya.

"Waktu itu kita ketemu di acara bedah buku gue, dia dateng karena diajak Hasna."

Aku membulatkan bibir, lalu mengangguk dengan tangan kanan menyambar sepotong pisang goreng yang tersaji hangat-hangat. Bang Fadil ikut mengangguk girang, merasa berhasil mengotak-atik isi pikiranku.

"Kenapa emang?"

"Menurut lo dia gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana, biasa aja." jawabku seadanya.

Bang Fadil membuang napas malas, lalu menatapku heran dengan kedua alisnya hampir menyatu.

"Setiap ditanyain tentang perempuan, jawaban lo nggak memuaskan banget sih. Lo masih normal kan?"

Aku tersedak saat baru saja menyeruput kopi susu pesananku, lalu meninju lengan atas Bang Fadil.

"Ya masih lah!"

"Gue takut lo jadi nggak doyan cewek gara-gara kelamaan jomblo, nikah gih, biar tetep hidup lo."

"Lo duluan lah, gue masih berusaha menjadi baik."

Bang Fadil terkekeh, "Cari yang mau mendukung lo jadi baik, lalu berusaha menjadi baiklah berdua. Surga terlalu jauh untuk diraih sendirian, Bro."

Surga terlalu jauh untuk diraih sendiri.

Aku tersenyum lebar, "Lo sendiri?"

"Masih mencari." jawab Bang Fadil sok puitis. Aku tertawa lagi. "Mencari teman hidup yang nggak sekedar hidup itu perlu usaha lebih."

Cocok dia jadi penulis, ya sebenarnya memang penulis. Kata-katanya selalu menghantam. Sementara saat pilihan sudah di depan mata, aku justru berpikir untuk melepaskan. Kriteria yang cocok untuk jadi calon istri ada pada Aliya, meski aku tidak menutup kemungkinan bahwa Hasna pun bisa menjadi lebih baik asal ia mau berusaha. Tapi dibandingkan yang belum jelas, tentu seharusnya aku memilih Aliya yang sudah di depan mata. Orang-orang akan meneriaki aku bodoh jika saja mereka tahu aku hanya tinggal menjalankan, tidak perlu lagi memilih, tapi aku justru memusingkan diri dengan pilihan-pilihan yang kubuat sendiri.

"Bayangin. Bangun tidur, kita lihat dia. Sarapan, wajah dia di depan. Makan siang, ada dia. Mau ke kamar mandi, eh ngelewatin dia. Mau kerja, dia yang nganter ke depan. Pulang kerja, masuk rumah, eh ada dia. Mau tidur, miring kanan liat dia, miring kiri tangannya di pinggang nyempil narik-narik baju kita."

Aku menelan ludah tanpa kentara.

"Kalau kita sembarangan pilih, bisa bayangin dong betapa suntuknya kita di rumah liat seseorang yang tiap diliat selalu mengundang marah?"

Luka Di Balik Mata JelagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang