[7] Truth

17 8 0
                                    

"Jam besukmu hanya 15 menit, Nona." kata seorang petugas berkepala plontos.

Mia membalas dengan anggukan kecil. "Itu sudah lebih dari cukup, sir."

Mia memutuskan untuk menjenguk ayahnya --tanpa mengajak Azolla-- di rumah tahanan sambil membawakannya sedikit makan siang yang dimasaknya sendiri. Mia sudah lama sekali tidak membesuk ayahnya, bahkan Mia tidak ingat kapan terakhir kali ia mengunjungi ayahnya. Bagaimanapun dan sampai kapanpun, dia akan tetap menjadi ayahnya dan Azolla.

"Mm-hm.." seseorang berdeham di belakang Mia.

Refleks, Mia menoleh dan melihat ayahnya yang selalu menjadi idolanya sejak kecil.  Ayahnya, lelaki pertama yang Mia kagumi di dunia ini. Ayahnya, yang mengajarinya naik sepeda, yang mengajarinya bela diri agar menjadi wanita yang kuat dimana semua laki-laki akan segan kepadanya. Ayahnya, yang membantunya membangun dinding kokoh tak teruntuhkan kecuali oleh seorang pria yang benar-benar siap menjadi sesosok pria tangguh --seperti ayahnya-- untuknya.

Kini, ayahnya terlihat agak kurusan, janggutnya yang lumayan lebat tidak dicukur, matanya yang menyorotkan keletihan dan penyesalan serta sebagian rambutnya yang mulai memutih.

"Apa aku terlalu menyeramkan untuk dilihat oleh putriku sendiri?" tanya Ayahnya lembut.

"Uh. Hai, dad," sapa Zamia. "Duduklah."

Ayahnya duduk dihadapan Mia tanpa mengalihkan pandangannya dari putri sulungnya itu.

"Untukmu." Mia menyodorkan kotak makan kepada ayahnya.

Ayahnya menaikkan sebelah alisnya. "Kau sudah bisa masak?"

"Dad, serius? Aku sudah 21 jika kau lupa."

"Kau sudah dewasa," Ayahnya tertawa hambar. "Bagaimana Azolla?"

"Azolla baik-baik saja, selama aku ada. Kalaupun aku tidak ada, akan selalu kupastikan dia baik-baik saja."

"Senang mendengarnya." kata Ayahnya sambil mengusap punggung tangan Zamia.

"Dengar, Mia. Dad tahu, jam besukmu hanya sebentar. Dad hanya ingin memberitahumu sesuatu yang sangat penting." Ayahnya menatap Mia serius yang dibalas oleh Mia dengan senyuman kecil. "Lanjutkan, dad."

"Aku bukan pembunuhnya. Terserah kau mau percaya atau tidak. Ayahmu bukan seorang pembunuh. Dad tidak akan memberitahumu kejadian detailnya, tidak sekarang, karena itu akan memakan waktu cukup lama. Tapi dad janji akan menceritakan semuanya saat sudah terbebas dari tempat ini."

"Satu hal, Zamia. Berhati-hatilah karena ini menyangkut dirimu dan Azolla. Seseorang sedang mengincar kalian berdua. Ia ingin balas dendam atas perbuatan yang sama sekali tidak kuperbuat. Ini hanya kesalahpahaman. Maafkan aku yang telah membuat kalian terlibat dalam kasus ini. Milikilah keyakinan dan keberanian, Zamia. Kumohon, jaga diri baik-baik. Aku tidak akan mengampuni diriku sendiri jika terjadi sesuatu pada kalian berdua."

"Dad, apa aku dan Azolla dalam bahaya?" tanya Zamia was-was.

"Aku sangat ingin mengatakan tidak. Tapi, sayangnya, ya. Kalian dalam bahaya. Maafkan aku. Aku memang ayah yang buruk."

Ekspresi was-was Mia seketika berubah menjadi normal.

"Hei, dad tidak perlu khawatir. Aku dan Azolla sedang baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Lagipula, aku bukan tipe cewek lemah yang menangis hanya karena kuku jari tangannya patah." kekeh Mia.

"Haruskah aku percaya padamu?" tanya ayahnya jahil.

"You should."

"Baiklah, sebaiknya kau pulang sekarang."

Little ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang