[3] What the Destiny it was

26 11 1
                                    

"Namanya Azolla Pinnata berusia 8 tahun. Akan kutunjukkan fotonya." Mia menyodorkan selembar polaroid adiknya kepada seorang petugas yang menangani kasus orang hilang.

"Kapan dan dimana terakhir kali adikmu berada, Nona?" petugas tersebut menginterogasi Mia.

"Hyde Park, sir."

"Tolong ceritakan kronologis kejadiannya dengan detail."

"Kami menghabiskan waktu bersama untuk berkeliling Hyde Park lalu adikku memintaku untuk membelikannya permen kapas. Aku menyuruhnya untuk duduk diam disana. Aku memang meninggalkannya agak lama karena harus mengantri. Tapi kurasa itu tidak terlalu lama, mungkin kurang lebih sekitar 30 menit. Lalu, saat aku kembali dia tidak ada disana. Aku sudah bertanya pada orang-orang di tempat kejadian, tapi tidak satupun dari mereka yang tahu keberadaan adikku. Tolong, temukan dia. Aku mohon. Aku hanya punya dia dan dia hanya punya aku. Kumohon." lirih Mia yang berusaha menahan airmatanya agar tidak lolos.

"Tenang, Nona. Kami akan berusaha menemukannya. Kau tidak perlu khawatir. Kalau ada perkembangan, kami akan segera menghubungi anda."

"Aku percaya padamu, sir. Aku pamit, terimakasih."

Mia memutuskan untuk pulang ke flatnya. Ia harus menjernihkan pikirannya yang kacau.

•••

Zayn dan adiknya sedang berjalan-jalan di Hyde Park sambil melemparkan candaan satu sama lain.

"Zayn. Kau mempunyai teman dekat?" tanya adik lelakinya itu.

"What's your definition of a close friend?"

"Entahlah. Seperti, aku selalu ingin melakukan sesuatu untuknya."

"Apa yang kau maksud dengan sesuatu, jagoan?"

"Semuanya. Seperti, membawakannya bekal makan siang, melindunginya dari orang-orang yang mengganggunya dan yang paling penting adalah selalu membuatnya tersenyum." jawab adiknya panjang lebar.

"Sepertinya kau sedang membicarakan seseorang yang special untukmu." goda Zayn sambil mengacak rambut adiknya.

"Kau benar, Zayn. Mengapa dunia ini terasa begitu sempit?"

"Apa?"

Adiknya menunjuk ke arah seorang gadis kecil yang sedang duduk diatas rerumputan sambil memainkan rambutnya yang dikepang indah. Zayn berani bertaruh bahwa usia gadis itu sama dengan usia adiknya.

"Azolla?"

"Alan?" mata Azolla berbinar saat melihat Alan dan langsung berpelukan seperti teletubbies.

Ada apa dengan mereka? Zayn membatin.

"Olla, kenalkan ini kakakku Zayn. Zayn, ini Azolla, seseorang yang baru saja kuceritakan padamu."

"Kau menceritakanku pada kakakmu?" tanya Azolla tak percaya.

"Kenapa tidak?" timpal Alan yang membuat pipi Azolla bersemu merah.

"Serius? Kalian berdua melupakan keberadaanku?" tanya Zayn mendramatisir.

"Uh, hai Zayn. Kau tau, sepertinya kau seumuran dengan kakakku. Kurasa, aku akan memintanya menjadi temanmu nanti, boleh?"

"Sure. Dimana dia?"

"Dia sedang membelikanku permen kapas. Tapi sejak 15 menit yang lalu kakakku belum kembali."

"Mungkin antriannya panjang, kakakmu pasti sedang menunggu gilirannya." ujar Alan.

"Bagaimana kalau kita membeli ice cream sebentar di seberang sana dan kupastikan kau sudah duduk disini sebelum kakakmu kembali. Ide bagus, bukan?" tawar Zayn.

Little ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang