Maafkan aku, untuk kamu yang pernah mengulurkan telapak tanganmu untukku

2 0 0
                                    

Fuyu telah tiba. Dan orang-orang mulai mengenakan mantel yang hangat dan pakaian tebal yang berlapis. Sama halnya dengan siswa lain, seragam Nanami juga dilapisi mantel hangat berwarna coklat tua dan sebuah syal merah yang merupakan pemberian dari Kanata saat ia berulang tahun tahun lalu, yang ia lingkarkan dilehernya. Tangan kanannya ia masukkan kedalam saku mantel sementara yang kirinya memegang tas yang dikaitkan dipundaknya sebelah kirinya. Nanami berjalan menuju gerbang sekolah ditemani Kanata yang berjalan disampingnya dengan menggunakan mantel berwarna hitam. Hari ini mereka tidak pergi menggunakan sepeda dan memilih untuk berjalan menuju sekolah.
Selama ini Nanami masih merahasiakan kondisi kesehatannya pada Kanata dan pada teman-temannya yang lain. Meski ia tahu kondisinya sekarang semakin memburuk. Setiap kali berjalan disamping Kanata perasaannya semakin serba salah. Namun ia sama sekali tidak bisa menghindari seseorang yang disukainya itu. Meski sering kali terfikir untuk pergi menjauh dari Kanata demi kebaikan Kanata sendiri. Namun pada nyatanya Kanata masih selalu ada disampingnya tanpa tahu kondisi Nanami yang sebenarnya.
“Cuacanya sangat dingin sampai membuat wajahmu begitu pucat, bahkan bibirmu juga pias sekali!” seru Kanata seraya memandang wajah Nanami yang berjalan disampingnya. Sejenak langkahnya pun terhenti dan membuat langkah Nanami juga terhenti.
“Kanata-kun kenapa berhenti?” tanya Nanami penasaran.
Kanata mengosokan kedua tangannya satu sama lain. Dan tiba-tiba ia menempelkan kedua tangannya diwajah Nanami. Seketika mata Nanami tebelak, ia terkejut dengan apa yang dilakukan Kanata terhadapnya. “Kanata-kun…” desis Nanami.
Dengan ekspresinya yang dingin namun sorot matanya hangat ketika kedua matanya menatap mata Nanami, Kanata terus melakukan hal yang sama berulang kali. Dan hal itu mencuri perhatian beberapa siswa yang lewat disekitar mereka.
“Berikan tanganmu!” seru Kanata kemudian mengambil tangan kanan Nanami dari saku mantel gadis itu. Ia pun menggosok gosokan tangannya lagi, lalu menempelkannya ditangan kanan Nanami.
Dibalik ekspresinya yang hanya diam karena terkejut, jantungnya begitu berdebar setiap kali Kanata melakukan hal-hal seperti ini padanya. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan jika Kanata sudah bersikap seperti ini padanya, karena rasa gugup dan jantung yang berdebar selalu mendominasi. Tiba-tiba tangan kiri Kanata menggenggam erat tangan kanan Nanami dan memasukannya kedalam saku mantelnya. Nanami semakin tidak bisa berkata-kata. Bibir tipisnya seolah membeku.
“Sudah cukup hangat kan?” tanya Kanata seolah pertanyaannya itu tidak membutuhkan jawaban dari Nanami karena Nanami yang saat ini sedang gugup hanya terdiam membisu. “Kalau gitu ayo kita jalan lagi!” tambahnya kemudian.
Meski cuaca dingin menyelimuti, namun seolah semuanya terasa hangat bagi Nanami karena sikap Kanata yang begitu hangat, lembut dan tak terduga seperti itu padanya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saat ini jam istirahat makan siang, dimana para siswa sibuk memenuhi kantin. Sementara Nanami, seperti biasa ia selalu menghabiskan jam makan siangnya di atap bersama Kanata. Ia melangkah pelan menaiki satu persatu anak tangga menuju atap sekolah dengan sekotak bento ditangan kananya. Hingga langkahnya sampai di anak tangga terakhir, perlahan ia membuka pintu menuju atap.
Dari tempatnya berdiri terlihat dua orang lelaki yang begitu dikenalnya sedang mengobrol berdua di sudut atap. Mereka terlihat serius membicarakan sesuatu hal. Dan pembicaraan mereka pun cukup terdengar dari posisi Nanami berdiri saat ini.
‘Murid lain membicarakan kalian berdua sejak tadi pagi!’
‘Ya sudah biarkan saja!’
‘Aku tahu kamu pasti bakalan ngomong kaya gitu. Sebenarnya ada yang mau kutanyakan! Tapi kamu harus jawab jujur!’
‘Hmmm… Apa?’
‘Aku serius! Apa kamu menyukai kakak iparku?’
. . . .
Tubuh Nanami seolah membeku hingga ia sulit untuk melangkahkan kedua kakinya, ketika tak sengaja mendengar semua pembicaraan itu.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ia menyukai langit, meski kadang menatapnya membuat pandangannya menjadi silau. Bahkan saat ini pun, ia tidur terlentang dengan berbantalkan sebelah tangannya sabil menatap langit. Sementara tangan yang satunya lagi menutupi sebagian matanya agar pandangannya tidak terlalu silau ketika melihat langit.
“Murid lain membicarakan kalian berdua sejak tadi pagi!” seru Kouji yang duduk disamping Kanata yang sedang terbaring.
“Ya sudah biarkan saja!” jawabnya santai.
Kouji mendengus. “Aku tahu kamu pasti bakalan ngomong kaya gitu. Sebenarnya ada hal lain yang mau kutanyakan, tapi kamu harus jawab jujur!”
“Hmmm…. Apa?”
“Aku serius! Apa kamu menyukai kakak iparku?”
Sejenak Kanata hanya terdiam.
“Kenapa diam? Apa jangan-jangan kamu beneran menyukainya?”
Kanata tertawa. Ia pun beranjanak dari posisi tidurnya. Dan duduk disamping Kouji. “Aku memang menyukai Nanami, dan itu sudah sejak lama kurasakan” jawabnya tulus dari dalam hatinya.
“Ternyata benar dugaanku. Habisnya sikapmu sangat berbeda pada kakak iparku” seru Kouji seraya tersenyum puas. “Aku mengenalmu sejak pertama kali masuk sekolah ini, dan aku tahu persis bagiamana sikapmu terhadap seorang gadis. Dan ketika kamu mengenal kakak iparku, sikapmu itu terlihat jauh berbeda padanya. Tapi kamu bilang kalian hanya bersahabat, jadi aku tidak berani untuk bertanya hal yang lebih soal itu” tambahnya kemudian.
“Ya mungkin kamu benar. Tapi sebenarnya aku mengenal Nanami sudah sejak lama, bahkan jauh sebelum aku pindah ke Tokyo”
“Loh… kenapa bisa?” tanya Kouji penasaran dengan ekspresi terkejutnya.
“Kamu tahu kan dulu aku pernah tinggal di Hokkaido? Tepatnya saat aku kelas 4 SD. Bahkan rumahku dulu berada tepat didepan rumah Nanami” jelas Kanata kemudian tersenyum karena mengingat saat-saat itu.
“Benarkah?” tukas Kouji semakin terkejut mendengarnya.
“Ya..benar! Saat itu aku hanya tinggal enam bulan saja disana. Setiap hari aku sering melihatnya sebagai gadis yang periang dari atas jendela kamarku” jelas Kanata.
“Ini terdengar sangat historis dan romantis…” seru Kouji seraya tertawa. Ia terihat begitu tertarik mendengar kisahnya. “Terus-terus gimana lagi?”
“Suatu hari aku menemukan saat dimana Nanami tidak terlihat sebagai gadis periang lagi. Senyumannya itu seolah sirna dari wajahnya”
“Kenapa bisa seperti itu?”
“Tepat dihari kematian ibunya, Nanami menangis tanpa henti di depan pagar rumahnya. Meski seluruh kelurganya sudah membujuknya untuk masuk kedalam rumah, namun Nanami tetap bersikukuh tidak ingin masuk dan berkata ‘Aku ingin menunggu ibu disini!’. Berjam-jam lamanya dia tetap berdiri disana. Entah kenapa aku tidak tahan melihatnya. Aku pun pergi menghampiri Nanami yang sedang tertunduk dan menangis didepan pagar rumahnya dan memberikan sapu tangan untuk menghapus air matanya itu. Saat itulah pertama kali aku mengulurkan telapak tanganku untuknya. Kamu tahu? Aku bahkan bilang padanya ‘Pakailah ini! Apa kamu ga akan berhenti nangis?’ dengan polosnya aku berkata seperti itu padanya tanpa tahu bagaimana perasaannya saat itu” Kanata tertawa kecil. “Nanami yang tertunduk, akhirnya menerima uluran tanganku dan menghapus sendiri air matanya dengan saputangan yang kuberikan. Tanpa bertanya siapa aku, dia memintaku untuk menemaninya disana” jelasnya kemudian.
“Kalian kan bertetangga, apa kakak iparku waktu itu tidak mengenalmu?” tanya Kouji.
“Tidak…aku jarang sekali menemui orang luar. Aku hanya mengenal orang tuanya saja. Saat itu adalah saat diamana kami pertama kali saling berbicara”
“Hmmm…. Aku mengerti, sikapmu memang sudah seperti ini sejak kecil” tegas Kouji meledek Kanata seraya tertawa. Kanata hanya tersenyum mendengarnya karena merasa dirinya memanglah seperti apa yang Kouji fikirkan. Ia pun melanjutkan kembali ceritanya.
“Walau aku tahu ibunya Nanami tidak akan datang. aku tetap menemaninya di depan pagar rumahnya. Nanami bercerita banyak hal padaku tentang ibunya seolah dia percaya padaku, seseorang yang baru ditemuinya. Kesedihan begitu terpancar di raut wajahnya saat itu. Hingga sore menjelang malam, akhirnya paman Kaoru keluar dan meminta kembali Nanami untuk masuk kedalam rumah. Akhirnya paman berhasil membujuk Nanami untuk masuk ke rumah. Saat itu Nanami bilang padaku, ‘Kamu tinggal diseberang rumahku kan? Apa besok kita bisa bertemu lagi, dan bercerita banyak hal lagi. Aku senang bertemu denganmu, kamu mau jadi temanku?’. Dengan cepat aku mengiyakan permintaannya, dan saat itu aku berjanji pada Nanami untuk menemuinya setiap hari tepat didepan pagar rumahnya untuk bermain dan bercerita banyak hal dan akan menjadi temannya. Tapi sepertinya dia sama sekali tak mengingat saat-saat itu”
Kouji hanya terdiam mendengar kisah yang diceritakan sahabatnya itu.
Kanata menenggadah menatap langit. Ia mendengus, lalu memundukan kepalanya. Tiba-tiba muncul bagian terberat dari kisah yang akan ia ceritakan kepada Kouji.
“Keesokan harinya aku pindah secara mendadak karena suatu alasan dan tidak bisa menemui Nanami di depan pagar rumahnya sesuai janjiku”
“Jadi… setelah hari kematian ibunya, kamu tiba-tiba pindah rumah? Itu berarti kamu tidak menepati janjimu pada kakak ipar untuk kembali menemuinya di depan pagar rumahnya?”
“Ya… begitulah. Janji tinggalah janji. Selama beberapa tahun aku merasa sangat bersalah padanya, karena pergi meninggalkannya disaat dia sedang berduka. Padahal saat itu aku berhasil menghiburnya, namun membuatnya kembali bersedih” ujar Kanata. Raut penyesalan dan rasa bersalah begitu nampak diwajahnya yang tampan.
Kouji mengusap punggung Kanata dengan sebelah tangan. “Sudahlah, tapi menurutku sekarang kamu sudah menepati janjimu pada kakak iparku hanya saja waktunya sedikit tertunda. Hanya saja kakak ipar harus tahu soal ini. Aku yakin dia belum menyadarinya kan?”
“Sebenarnya…sudah sejak dulu aku ingin mengatakannya. Kamu tahu, kami dipertemukan kembali di SMP yang sama di Hokkaido. Tapi sayangnya aku harus pindah ke Tokyo di tahun keduaku di SMP. Beberapa kali aku ingin mengatakannya pada Nanami, tapi jangankan untuk mengatakannya, setiap kali aku melihatnya saja dia selalu menghindar dari pandanganku. Kufikir Nanami ingat tentang janjiku dan dia membenciku saat itu karena aku tidak menepati janjiku padanya. Tapi nyatanya dia sama sekali tidak mengingat hal itu, bahkan sampai saat ini. Dan entah kenapa dia menghindari pandanganku saat di SMP dulu?”
Kouji menggelengkan kepalanya. Dia terlihat takjub mendengar kisah yang diceritakan Kanata. “Aku tidak menyangka dengan kisah kalian berdua ini!” pekik Kouji ia pun mendengus. “Hmmm…. Pantas saja paman Kaoru bersikap begitu baik padamu dan mempercayakan kakak ipar padamu. Tertanyata dia mengenalmu sejak kecil. Padahal jika mendengar apa yang diceritakan Emiko tentang ayahnya, rasanya sulit sekali mendapatkan kepercayaan dari paman Kaoru. Aku bahkan harus memintamu berkunjung ke rumah Emiko jika ingin menemuinya di rumahnya,  agar bisa mendapat ijin dari paman Hayashi”
Mendengarnya, bibir tipis Kanata mengeluarkan senyumannya yang khas dan membuat lesung pipinya telihat. Dengan tatapan yang lembut, ia mencurahkan kembali isi hatinya tentang Nanami.
“Aku ingin menebus semuanya. Bukan semata-mata karena dibebani sebuah janji, tapi yang terpenting adalah lebih dari itu. Aku menyesal karena banyak waktuku yang terlewat tanpa Nanami saat itu, dan membuatnya kembali bersedih. Mulai sejak saat kami bertemu kembali di SMA, aku ingin selalu besamanya dan menemaninya setiap saat. Aku sangat menyanyanginya, bahkan lebih dari yang terlihat dari sikapku padanya” tegas Kanata.
“Lalu apa rencanamu sekarang? Apa kamu akan mengatakan semuanya pada kakak ipar?”
“Sekarang? Sepertinya tidak….aku akan tetap seperti ini pada Nanami. Aku akan mengatakan semuanya nanti jika waktunya sudah tepat menurutku”
“Waktu yang tepat? Kapan?”
“Saat hari kelulusan! Aku akan menyatakan semuanya pada Nanami, sekaligus memintanya untuk menungguku sampai aku menyelesaikan kuliahku di luar negri. Aku akan melamar Nanami setelah lulus kuliah nanti” ujar Kanata, namun sebelum kalimatnya selesai diucapkan tiba-tiba Kouji memotong perkataannya.
“Kuliah di luar negri?” tanya Kouji tekejut.
“Ya..aku berencana kuliah bisnis di luar negri dan meneruskan bisnis restoran ayahku di Kyoto” jelas Kanata.
Matanya tebelak, pupil matanya membesar. Kouji kembali terkejut bahkan kali ini sangat terkejut. Seketika Kouji beranjak dari posisi duduknya dan berdiri tepat dihadapan Kanata.
“Dan kamu juga mau melamar kakak iparku? Kamu serius?”
Kanata memalingkan pandangannya kearah lain karena merasa tidak nyaman sebab Kouji berdiri tepat dihadapannya dan sangat dekat.
“Ya aku serius. Aku akan meminta Nanami untuk menungguku sampai aku lulus kuliah, lalu aku akan melamarnya” Kanata terlihat yakin dengan apa yang dikatakannya.
“Wah Kanata! Hari ini kamu benar-benar membuatku sangat terkejut!” seru Kouji yang takjub. Ia pun kembali ke posisi duduknya semula, tepat disamping Kanata. “Kamu tahu Kanata?”
“Hmmm….” Kanata memalingkan pandangannya kearah Kouji.
“Jika sebelumnya kuakui kamu memang keren, tapi saat ini kamu terlihat benar-benar sangat keren. Kamu menceritakan semua ini padaku, seolah aku sedang mendengar cerita dari novel romantis. Aku akan selalu mendukungmu kawan! Apalagi aku tahu perasaanmu itu sangat tulus pada kakak iparku. Kamu memang belum mengatakan semuanya padanya tapi, bukan kata-kata yang kamu tunjukan melaikan sebuah perilaku yang menunjukan jika kamu benar-benar mencintainya”
“Kouji….” desis Kanata.
Kouji pun teresenyum. “Aku yakin kakak ipar juga menyukaimu. Dan aku yakin kakak ipar juga pasti akan sanggup menunggumu untuk melamarnya setelah lulus kuliah nanti. Dan satu hal lagi yang kuyakini, kalian memang ditakdirkan untuk saling mencintai satu sama lain….”. Kouji pun merangkulkan tangannya di pundak Kanata.

Chiisana TenohiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang