SATU

12.3K 405 15
                                    

Atapnya terdiri dari seng yang sudah memerah termakan usia. Seng bergelombang itu juga mengelupas dan meninggalkan lubang-lubang besar. Yakin. Air hujan pasti lolos melewati lubang sebesar itu.

Catnya yang berwarna merah muda mengelupas di sana-sini. Teras juga tak kalah berantakan, lantainya retak. Semen yang menyusun sebagian komposisi rumah juga merekah dimana-mana.

Belum lagi isi di dalam rumah itu, berukuran 10 meter persegi, sebuah rumah yang tidak terlalu besar tetapi meninggalkan jejak kehancuran yang banyak. Kamarnya dua, satu dapur dan ruang tamu. Ada beberapa bagian dinding tercabut dari tempatnya.

Kalau mengelupas tidak mungkin karena dindingnya semen, tercabut adalah istilah yang tepat, karena salah satu kamar--tepatnya kamar bagian belakang--berlubang, sebab dinding yabg runtuh. Entah bencana apa yang terjadi sehingga sanggup merobohkan satu bagian utuh tanpa terpecah-pecah seperti ini. Sebuah dinding semen seperti ditabrak tronton. Jatuh begitu saja ke lantai, sepetak besar.

Aku melongo memandangi suamiku. Rasanya tak percaya kalau harus mendiami rumah yang sudah seperti gubuk reot tak layak huni ini. Lingkungannya juga tak kalah seram. Semak belukar ditemani oleh pepohonan besar yabg menjulang tinggi. Bahkan mengalahkan tinggi rumah tersebut. Tetangga sangat jauh, rumah ini terletak di ujung jalan, tepat di perbatasan desa. Lalu, tak jauh darinya ada pemakaman umum. Pepohonan masih berdiri gagah di sekitar. Termasuk satu pohon beringin besar itu. Bulu kudukku meremang.

"Bang, cari rumah lain saja," rengekku pada Alif, suamiku.

"Kemana? Kita sudah diusir. Rumah ini satu-satunya yang abang punya," sahutnya lemah. Kami saling menatap.

Aku menghela napas. Kami baru saja diusir dari kontrakan karena katanya mau dijual. Sedangkan untuk mengontrak rumah lain kami tidak punya uang. Jangankan lima ratus ribu buat menyambung sewa, hanya lima puluh ribu yang terpaku manis di dalam sakuku. Hasil menjual piring dan gelas kami satu-satunya. Untuk makan kami maksimal tiga hari ke depan.

Suamiku, lelaki yang sangat kucintai. Ketidakberdayaan memaksa kami meluncur turun ke titik terendah dalam hidup. Kami masing-masing tidak mempunyai orang tua sebagai tempat mengadu. Saudara? Jangan tanyakan. Aku besar di panti asuhan sedangkan dua saudari Bang Alif sudah seperti orang lain saja. Jangankan menjenguk abang tertua mereka setiap hari, tiap lebaran saja tidak.

Baru pertama kali kutemukan model jalinan keluarga seperti ini. Wajar saja, mereka orang kaya sekarang. Sedangkan abangnya hanya penjual roti keliling. Bukan hanya itu, kurasa alasan terbesar mereka menjauh adalah cacat yang diderita oleh suamiku.

Sebelah kakinya kecil. Sehari-hari ia menggunakan tongkat sebagai penyangga serta memakai sepeda roda tiga yang mirip becak mini khusus untuk dia saat berjualan. Mengayuhnya juga menggunakan tangan. Tangan dan dada Bang Alif berotot. Setiap hari berjualan roti keliling kota membuatnya bugar sekaligus berkulit hitam karena terbakar sinar mentari.

Itu baru satu alasan, mungkin alasan yang satu lagi makin memperkuat keengganan mereka. Bang Alif memilihku menjadi pendamping hidupnya, seorang wanita yang cacat pada sebelah mata. Sebelah mataku buta, sejak kecil sudah begini, tetapi kalau berada di depan cermin, seperti mata pada umunya. Hanya saja, terlihat sedikit lebih kecil dari mata sebelahnya.

Aku tahu, pasti itu alasannya. Karena dulu, mereka semua mati-matian menghinaku. Namun, Bang Alif tetap pada keputusan awalnya. Sampai kutukan itu diucap oleh Sang Ibu, "Kalau kau menikahi gadis ini, Ibu tidak akan menganggap kau anak!"

Bang Alif, apa yang ia lihat dariku. Semula aku mengira ia menikahiku karena kami sama-sama tidak berdaya. Tetapi dengan wajah tampannya, ia bisa menggaet wanita yang lebih cantik dariku. Tidak, lelaki itu memilihku jadi pendampingnya. Satu yang ia ucapkan dan masih membekas, "Kebaikan hati tidak bisa terlihat tapi ia mengeluarkan aura positif untuk pemiliknya dan itu kulihat padamu. Kaulah ibu yang pantas untuk anak-anak soleh kita."

Hati siapa yang tidak berbunga-bunga. Seorang pria--kesampingkan saja soal kekurangannya--mencintaiku yang hanya sesosok gadis buta. Tidak pernah aku diperlakukan sedemikian berharga, hanya dirinya seorang.

Sejak saat itu, Bang Alif rutin mengunjungiku. Hubungan kami terjalin bak simfoni dalam taman bunga, indah.

Pada akhirnya, dia melamarku setelah berbulan-bulan mencoba meyakinkan diri. Bukan dia, tetapi aku. Aku yang butuh waktu mencari kebenaran dalam hati. Mungkin Bang Alif khilaf atau bagaimana sehingga mau menjadikanku istrinya.

Saat itu, aku tidak tahu bahwa sang ibu dan calon iparku tidak setuju. Lebih tepatnya, mereka berkata 'Ya' di depan Bang Alif, tetapi menatap miring padaku ketika suamiku tidak ada.

Allah, ujian ini begitu berharga untuk dilewatkan. Bukankah segala kezaliman merupakan bekal untuk masa depan akhirat.

Aku tetap bertahan, semua karena Bang Alif tercinta. Bahkan saat kami diusir seperti ini, tiada satu pun keluarga yang mengulurkan bantuannya.

"Ayo kita masuk, Dek. Bismillah."

Kami melangkah, mendahulukan kaki kanan terlebih dahulu. Namun, saat telapakku menjejak lantai, aroma menyengat dan sensasi merinding menyergap tubuhku.

Bersambung

RUMAH ( Lengkap )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang