Tiga

5.4K 272 4
                                    

"Bang, besok kita harus bagaimana?" Mataku menerawang menatap nanar pada langit-langit rumah. Cahaya sewarna senja yang datang dari lampu minyak menerangi kamar kami. Bang Alif menghela napas kemudian merangkulku. Lengan kekarnya hangat, jiwaku ikut tenang.

Kami berbaring di kasur tipis setelah sholat isya dan makan. Untung saja lauk dan nasi tidak basi. Sebelum keluar dari rumah itu aku sempat memasak.

"Abang akan berjualan seperti biasa. Adek lanjutkan mengemas rumah. In shaa Allah besok ada rejeki buat kita."

Tiba-tiba mataku memanas, ada bulir bening jatuh dari sebelah kelopak mata

"Adek bersyukur, Bang. Sungguh. Tetapi sampai kapan kita akan hidup seperti ini. Kadang Adek lelah," tukasku.

Suamiku menangkup pipi ini, mengusap air mata di ekor mata yang hampir jatuh menjejak bantal.

"Tenanglah, Dek. Semua akan baik saja. Pasrahkan kepada Allah. Kita tidak tinggal di kolong jembatan saja sudah cukup beruntung."

Aku mengkeret di dada Bang Alif. Sudah lima tahun kami berumah tangga dan dia selalu bisa menenteramkan. Seolah ujian demi ujian hanya serupa angin sepoi yang membelai kulit. Optimis.

Tak terasa, aku jatuh tertidur di pelukannya. Samar-samar kulihat Bang Alif menatapku dengan sayang. Gelap dan sepi nampak kontras dengan kehangatan yang menyelimuti kami di kamar berukuran 5x3 meter ini. Semoga nasib kami berubah menjadi lebih baik. Sungguh aku tidak inginkan harta yang banyak, hanya saja ujian hidup seolah enggan menjauh. Pun datangnya bertubi-tubi. Subhanallah wa ni'mal wakil. Ni'mal mawla wani'mannatsir.

Klatak! Klatak! Klatak!

Suara apa itu? Mataku membelalak. Hening.  Dengan saksama kudengarkan kembali. Tidak ada apapun. Benar-benar senyap. Bahkan binatang malam tidak bersuara. Ah, entahlah. Aku menutup mata mencoba tidur kembali. Bang Alif juga lelap, pelukannya mengendur. Nampaknya ia sangat kelelahan.

Bola mataku kembali terbuka. Suara itu lagi, kali ini hanya sekali.

Klatak!

Seperti suara dua papan dikatupkan. Aku tahu itu bukanlah perbuatan binatang. Rumah ini, sejak awal kami jejakkan kaki di dalamnya sudah mengeluarkan aura negatif, kusam dan kelam. Romaku menegak. Kunaikkan selimut hingga menutup seluruh tubuh. Bang Alif bergerak, ia membelakangiku. Ingin kubangunkan ia, tetapi kasian.

Klatak!

Jantungku berdebar. Kali ini jelas terdengar. Rasanya dekat. Ragaku menggigil, perut terasa mual dan kepala mulai pusing. Sebisa mungkin kubaca ayat Al-Quran yang kuhapal.

Tiba-tiba suara itu makin menjadi. Kali ini tidak dua ketukan tapi beruntun, bagai papan yang dipukulkan ke sebuah benda pipih lain berkali-kali dan bertubi-tubi. Berulang-ulang dan memekakkan telinga. Aku menutup telinga dengan kedua tangan.

"Bang! Bang! Bangun!" Kubangunkan Bang Alif, tetapi raganya bergeming.

Kugoyang tubuh kekar itu dan memanggil namanya berulang kali sementara bunyi misterius kian menghantui pendengaranku.

"Bang! Bangun!"

Dengan putus asa kubalik badan Bang Alif. Namun pemandangan mencengangkan menusuk penglihatanku. Bang Alif terkapar dengan kedua bola mata tercabut dan berceceran di sekitar wajahnya. Aku melolong ketakutan.

"Dek, ada apa?!" Keningku berkeringat. Bunyi itu tidak ada lagi. Aku terhenyak dengan posisi duduk. Bang Alif terlihat baik dan menatapku heran. Tidak ada lubang hitam di wajahnya. Napasku berkejaran.

"Bang? ...." Hanya itu yang terucap dari mulut. Suamiku memeluk dan mencium ubun-ubunku.

"Tenanglah, cuma mimpi. Makanya sebelum tidur berdoa dulu." Ia meniup puncak kepalaku dan membacakan beberapa potongan ayat Al-Quran.

"Ini masih tengah malam. Ayo kita sambung tidur." Aku kembali rebah dalam dekapannya. Apa itu tadi? Mimpi? Mengapa benar terasa nyata? Rumah ini membuat ambigu menjadi jelas dan semu terdengar asli.

***

Bersambung

RUMAH ( Lengkap )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang