Dua

6.2K 286 8
                                    

Kami berdua mengemas rumah perlahan-lahan. Bang Alif membantu menebas rumput di sekeliling rumah. Meski ia punya sebelah kaki yang cacat, tetapi sangat terampil bekerja. Aku melap lantai kamar dan menyapu sedikit. Sebenarnya rumah ini belum boleh ditinggali karena telah lama kosong dan belum di adakan zikir.

Tetapi kalau tidak sekarang, kami harus tidur dimana. Bisa saja menumpang di rumah teman hingga rumah ini bersih tetapi kami tidak mau merepotkan. Rumah tua dan lapuk adalah peninggalan ibu pantiku. Dia menghibahkan rumah ini untukku. Kondisinya memang begitu, reot, jauh dari keramaian dan kesannya angker.

"Dek, abang sudah selesai!" Bang Alif meneguk sebotol air putih di teras. Kulihat rumput di sekitar rumah telah habis. Juga terasnya, beberapa lantai yang berlubang tertambal sempurna.

Kalau orang melihat ini mereka tidak akan percaya bahwa suamiku yang melakukan semua. Dia naik kerumah dan mengangkut beberapa air untuk mandi. Ada kolam kecil di dekat pintu dapur. Setelah dibersihkan dengan saksama, rumah ini terlihat sangat bagus. Hanya beberapa lantai yang berlubang perlu penanganan khusus. Selebihnya ternyata tidak terlalu buruk.

Bahkan di belakang ada dua tempayan untuk menampung air hujan. Semua terisi penuh. Tetapi kami tidak akan memakainya. Rumah ini telah lama ditinggalkan, tidak menutup kemungkinan kalau airnya tidak sehat untuk diminum.

Sebelum senja terbentang, kami sudah selesai. Meskipun baru kusapu, lumayanlah untuk tempat bernaung semalam, esok akan kami lanjutkan. Api masih berkobar di belakang rumah sisa pembakaran seluruh barang tidak terpakai. Sekarang rumah ini bersih dan kosong. Meskipun ada atap yang berlubang, namun tidak banyak.

Tiga buah lampu minyak kunyalakan, tidak ada listrik. Kutaruh di dalam kamar yang telah terbentang tikar dan tilam tipis untuk kami merebahkan diri. Malam mulai mendapatkan pekatnya. Jangkrik serak bernyanyi sementara di kejauhan burung hantu berkoak tiada henti. Sayup-sayup suara azan menggema. Aku dan Bang Alif mengambil wudhu.

Hitungannya ini masih sore, namun kabut telah menyelimuti tempat tinggal kami. Seram, mencekam dan kelam. Lagi-lagi romaku merinding.

Bang Alif mengangkat takbir. Dia sholat dengan cara duduk sedang aku berdiri seperti biasa di barisan belakang. "Allahu akbar!"

Sholat berlangsung khidmat, saat sujud terakhir Bang Alif berlama-lama. Selain berdoa tentunya aku juga mengadukan nasib kepada Sang Khalik. Ujian hidup seperti enggan berakhir. Entah kenapa tetapi Allah tahu sejauh ini kami kuat.

Namun, ada perasaan aneh saat Bang Alif tidak juga mengakhiri sujudnya. Apa yang terjadi, pikiranku gelisah. Ingin melihat keadaan namun posisi sebagai makmum membatasiku. Ah, mungkin sebentar lagi ia selesai. Batinku.

Berselang lama, masih juga tidak berakhir. Syahdan, saat aku hendak bangun dan memeriksa suamiku, saat itu juga ia mengucap takbir.

Lega, kupikir ada sesuatu yg terjadi. Saat bangun dari sujud, aku terperanjat. Jantung berdegup kencang karena mataku menangkap penampakan. Sebuah wajah seram dengan mulut dan kedua lubang mata menghitam berada di hadapanku.

Reflek mulut berucap istighfar. Dada berdebar kacau. Namun saat kulihat kembali, wajah itu tiada.  Mata sebelah ini memang kadang sering khilaf dalam memandang, kadang tidak jelas bentuk yang terlihat  Dalam hati tak henti kulafalakan ta'awudz. Meminta perlindungan kepada Allah atas gangguan makhluk halus. Sholat berakhir dan semua kembali seperti biasa.

***

Bersambung

RUMAH ( Lengkap )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang