Delapan

5K 267 13
                                    

Kami mematung di luar rumah, sore hari terlihat semakin mencekam. Apa lagi kami sudah tahu mengenai sejarah rumah itu. Mau melangkah masuk rasanya berat, seolah kaki ini terikat pada bola besi dengan berat satu ton.

Aku mengkeret di bahu suamiku. Refleks berlindung di belakangnya seolah ada ancaman besar sedang menunggu di dalam. Bang Alif meremas jemari ini.

"Bismillah," Ia tertatih melangkah. Aku mengikutinya dari belakang.

Hentakan tongkat penyangga yang ia pakai menggema lantang di pendengaranku, seperti sengaja menindas jiwa kami. Angin dingin meniup tengkuk dan bunyi gemerisik daun beringin yang bergesekan satu sama lain semakin menambah suram suasana.

Sejenak mataku memindai sekitar rumah, ya memang hanya hutan di sekelilingnya dengan pohon berbagai bentuk, termasuk di belakang. Tidak kusangka itu adalah kuburan massal. Cerita tadi siang membuat tengkuk ini menegak.

Kondisi rumah senyap, ia tetap terlihat sama seperti saat kami tinggalkan. Beduk maghrib berdentum di kejauhan, kami memang tidak langsung pulang tadi, Bang Alif mengajakku makan di luar katanya seluruh roti diborong warung ujung desa makanya ia pulang awal dan membawa jumlah uang yang lumayan besar. Baru kali ini kami ketiban rejeki demikian banyak.

Makanya kami berlama-lama di masjid. Selain memikirkan langkah selanjutnya juga ada sedikit perasaan was-was ketika hendak kembali.

"Ayo cepat masuk, sudah magrib. Kita sholat dulu." Bang Alif meraih tanganku kemudian menutup pintu.

Gelap! Suasana alam yang kian mencekam ditambah tidak adanya listrik membuat nyali ikut surut.

Empat lampu minyak dinyalakan, wajah suamiku memantulkan cahayanya. Tetapi, dia seperti menyeringai sehingga sukses membuat jantungku berlompatan.

Begitu kewajiban selesai, masing-masing dari kami mencoba bersikap sewajarnya. Tetapi tetap saja, lebih baik tidak tahu fakta apa pun karena setelah semua terungkap, suasana rumah kian mencekam.

"Bang, temani Diah ke dapur. Mau siapkan makan."

Bang Alif terdiam, ia menunduk di ruang depan dengan lampu minyak yang masih menyala. Rutinitasnya pasti membaca Al-Qur'an setelah sholat magrib hingga isya menjelang. Tetapi suaranya tidak terdengar. Aku mendekat.

"Bang, temani Diah ke dapur. Sebentar aja, kita makan dulu sebelum sholat isya."

Aku maju perlahan menuju Bang Alif. Saat hendak menyentuh bahunya,

"Ada apa, Dek?" Suamiku keluar dari kamar menenteng dua lampu minyak di tangan. Ia menatapku heran. Jadi siapa yang duduk tertunduk di ruang tamu?

Seketika jantungku berdebar tak karuan. Secepatnya mataku mengerling ke sana. Kosong. Hanya bias cahaya lentera menerangi satu-satunya ruang tamu kami. Aku bergidik. Tetapi sebuah senyum terpaksa kusunggingkan kepada lelaki yang berdiri di depan pintu kamar.

"Tidak apa-apa, Bang. Cuma, kita harus makan dulu sebelum sholat isya."

Aku berlalu meninggalkan ruang tamu dan bergegas menghampiri kekasih. Biarlah ia tidak tahu, biar kusimpan sendiri karena tidak ingin menambah kesan mengerikan lagi. Jendela kaca di depan terlihat membayang tubuh seseorang.

Bang Alif membantu menyiapkan makanan. Tiba-tiba,

"Ya Allah, Dek. Kita lupa mengubur peti itu. Harusnya dilakukan sebelum magrib tadi!" Ia berseru.

Aku menatap mata suamiku, dia balik memandang.

"Jangan bilang abang akan menguburnya sekarang," cecarku. Nasi hampir tumpah ke lantai saat kami berdua terkejut karena mendengar suara burung hantu yang menggema tiba-tiba.

RUMAH ( Lengkap )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang