Lima

4.7K 263 7
                                    

Wajah Bang Alif pucat pasi. Ia menatap nanar pada sobekan kertas lusuh dan bros putih yang tergeletak di lantai. Sementara aku masih bingung dengan kata-katanya. Kami sempat terdiam beberapa saat.

"Kenapa kita harus pergi, Bang?" Akhirnya sebuah tanya dariku memecah sepi.

Bang Alif tersentak, sekejap tadi dia bak tiada di alam ini. Tatapannya kosong. Dia kemudian menelan ludah.

"Tidak ...." Ia menggeleng, "sebaiknya kita pergi ke rumah Ustadz Ibrahim."

"Siapa Ustadz Ibrahim, Bang?" Aku tidak kenal nama yang disebutkan oleh suamiku. Dia tidak pernah menyinggung nama itu sepanjang pernikahan kami.

"Nanti adek juga akan tahu. Ayo berkemas!"

***

Kami menempuh jalan panjang menuju rumah sang ustadz. Sekitar satu jam perjalanan menggunakan ojek. Dari Teluk Keramat menuju Sambas kota, jarak yang lumayan ditambah guncangan di sana-sini karena jalan yang berlubang. Ada apa dengan suamiku? Siapa sebenarnya sang Ustadz?

Saat kami tiba, azan zuhur berkumandang. Istri Ustadz Ibrahim menyambut ramah. Ia adalah wanita paruh baya, kutaksir umurnya sama dengan Ibu mertuaku yang saat ini sudah lima puluh tahun. Kami melaksanakan sholat dzuhur di mushalla keluarga mereka setelah makan siang.

"Maaf, Bu. Ustadz kok belum pulang juga?" Bang Alif bertanya kepada Ibu Aisyah setelah menunggu cukup lama.

"Sabar ya, Nak. Mungkin beliau ada ngisi ceramah sebentar. Biasanya juga cepat pulang ...." Bu Aisyah celingak-celinguk menatap keluar melalui pintu depan dan seketika beliau melonjak. "Ah, itu Pak Ustadz sudah datang."

Ia menyongsong sang suami di luar dan sesaat kemudian seorang lelaki masuk ke rumah dan melihat ke arah kami. Saat pertama melihatnya, pancaran wibawa menguar dari sosok yang disebut Ustdaz Ibrahim itu. Meskipun seluruh rambutnya memutih, tetapi jejak pengalaman dan ilmu yang patut diperhitungkan terpancar dari wajahnya. Beliau tersenyum dan menghampiri kami.

"Masha Allah, Nak. Kamu sehat?" Ustadz Ibrahim memeluk suamiku layaknya ayah dan anak. Dia juga tersenyum kearahku.

Mereka berdua berbincang lepas. Sesekali suamiku tertawa. Dari perbincangan keduanya aku mengetahui bahwa Bang Alif sudah lama tidak menemui Ustadz, terakhir berjumpa saat dia umur tujuh tahun.

Entah kapan perbincangan mereka mulai serius, mengungkap kenyataan yang tidak kuketahui selama ini.

"Pak, saya khawatir." Bang Alif melihat ke arahku. Binar cemas menggantung di matanya. Namun kata-kata itu jelas ditujukan untuk sang kyai.

"Kemarin Diah menemukan benda ini di rumah kami?" Ia meletakkan peti kuno yang kutemukan. Kapan Bang Alif mengemas semua itu.

Ustadz agak terkejut, terlihat dari sorot matanya. Tetapi sedetik kemudian beliau kembali tenang.

"Apakah rumah kalian di desa teluk keramat?" Dia bertanya.

"Iya, Ustadz. Itu adalah rumah hibah oleh ibu kepala panti asuhan tempat istriku dibesarkan."

Ustdz mengucap ta'awudz berkali-kali.

"Subhanallah, takdir memang mempertemukan yang tidak kita perkirakan. Audzubillah. Audzubillah."

Aku sedikit khawatir, teka-teki menumpuk dalam kepala ini dan tidak ada satu pun jawaban yang kudengar saat ini. Bang Alif menatap nanar pada kotak itu.

"Maaf, Nak Diah. Siapa nama ibu pantimu?"

Aku menyahut gugup.

"Ibu Fatimah, Ustadz," ujarku.

Pak ustadz menyandarkan punggungnya ke tembok, seperti beban berat menghimpit pundaknya.

"Hantu itu kembali, kan, Ustadz?" Bang Alif menimpali.

"Kalian terikat, itu masalahnya ...." Ucapan Ustadz menumbuhkan tanda tanya baru.

"Maaf, Ustadz. Saya tidak mengerti satu pun dari pembicaraan ini. Apa dan bagaimana? Tolong jelaskan pada saya, Ustadz," pintaku.

"Sebaiknya biar suamimu yang menjelaskan karena ia punya hak untuk itu."

Aku melarikan tatapan penuh tanya kepada Bang Alif. Dia melihatku ragu sekaligus khawatir.

"Dulu rumah itu milik ibuku, Dek."

Bersambung

RUMAH ( Lengkap )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang