Empat

5.2K 263 8
                                    

Aku melambaikan tangan saat melepas kepergian Bang Alif untuk  berjualan, aku berbalik saat punggungnya hilang di ujung gang. Hari ini akan dilanjutkan acara bersih-bersih. Semua sudut rumah telah resik tanpa barang bekas pemilik dahulu, kecuali kamar berlubang itu. Kemarin kami tidak sempat membersihkannya karena sudah terlanjur sore. Hari ini aku bertekad menyelesaikan semua.

Kumasuki ruang kamar melalui lubang besarnya, kemudian kubuka pintu yang ternyata terkunci dari dalam. Tidak terlalu sulit karena kuncinya sudah berkarat. Berapa lama rumah ini ditinggalkan, sampai besi saja berkarat sempurna. Tinggal diketuk sedikit ia berguguran bak bunga dandelion yang tertiup angin.

Beberapa potong roti tadi lumayan mengisi perut di pagi hari. Sebelum pergi berjualan, suamiku sudah meninggalkan beberapa sayur dan butir telur sebagai lauk kami hari ini. Dia memang suami bertanggung jawab, tidak segan belanja ke warung. Belum punya anak saja ia sudah perhatian begini apalagi saat aku melahirkan zuriatnya. Kuelus perut bagian bawah, satu lagi ujian Allah kepada kami. Penantian yang seakan tiada akhir.

Aku belum lapar, nanti saja sekalian setelah berkemas baru pergi memasak.

Kamar kedua ini nampaknya cocok dijadikan tempat sholat. Ukuranya sama dengan kamar utama. Hanya saja, isi di dalam berantakan sekali. Hancur lebur. Selain tembok yang longsor, juga beberapa lemari keropos termakan rayap hancur berkeping di lantai. Perlahan-lahan kusapu semua dan kukumpulkan di satu sisi.

Remahan kayu dan perca berdebu kubakar seketika. Api menyala nyalang, berkobar memakan apa yang masuk ke dalamnya. Sekilas kulirik ke bagian belakang rumah, seperti biasa, hutannya membuat kuduk berdiri. Pikiran memproyeksikan secara mandiri atas apa yang kutakutkan.

Seketika ada bayangan berkelebat di antara pepohonan. Mataku nanar mengikuti arahnya, tidak dapat tertangkap. Sulit. Sakit. Mata yang tinggal sebelah ini berdenyut. Ah, lebih baik aku masuk. Kurapalkan firman Ilahi yang Bang Alif ajarkan. "Biasanya rumah lama memang begini, jadi jangan heran kalau Adek melihat bayang-bayang. Nanti kalau ada rejeki kita undang warga kampung untuk mendoakan." Terngiang nasihat yang suamiku lontarkan tadi subuh. Astaghfirullah.

Semuanya selesai. Kamar kedua rapi. Dinding semen yang roboh telah kupindahkan perlahan-lahan. Sekarang rasanya rumah ini telah resmi layak untuk didiami. Tetapi kemudian, ujung mataku menagkap sebuah pemandangan di sudut kamar. Sesuatu yang terlihat beda dari biasa.

Kuhampiri sudut itu, nampaknya ada bagian yang sedikit menonjol. Perlahan-lahan tangan meraba sumbulan, seperti sesuatu yang sengaja disatukan dengan dinding. Kususuri alurnya, pelan dan makin jelas bahwa ia adalah sebuah persegi kecil yang menempel di dinding, seperti pintu. Wah, sungguh tak terduga. Rasa penasaran menghantui pikiranku.

Kucongkel celah kecilnya dan semen yang menutupi, semen itu berhamburan bak pasir. Perlahan kuperbesar lubang dan ternyata ada sesuatu di sana. Sebuah peti kecil.

Peti itu cantik sekali, ukirannya menandakan bahwa ia spesial. Terbuat dari kayu paling kuat sedunia, kayu 'belian'. Untungnya ia tidak terkunci. Kubuka peti itu, ada sebuah bungkusan hitam dengan bros kecil di dalamnya.

Bros itu adalah barang pertama yang kuambil. Cantik sekali, ukirannya sama persis dengan peti tempat ia bertahta. Luar biasa, bros berwarna putih itu tidak terlihat berkarat sama sekali. Aku yakin ia telah berada di tempatnya cukup lama sesuai dengan kondisi rumah.

Bungkusan hitam, terlihat menyeramkan. Ada aura negatif yang kurasakan. Bukankah setan menyukai warna hitam. Aku ragu, ingin kuambil karena terlanjur penasaran. Tetapi ....

Mendadak, sebuah tangan menyentuh bahuku. Hampir saja aku terlonjak dan melempar peti kecil itu, setelah berbalik ternyata, Bang Alif. Dia berdiri di belakang dengan senyum terkembang.

"Adek kaget, Bang! Ish kenapa ga ngucap salam , ,sih!" Kupukul manja dada bidangnya. Bang Alif tertawa.

"Abang sudah ucap salam berkali-kali. Adek ga dengar, ya? Apa sih serius amat." Suamiku mengambil peti dari tanganku dan mengeluarkan isinya. Akhirnya dibukalah bungkusan hitam itu dan isinya adalah sebuah kertas dan tulang. Iya, tulang. Tapi aku tak pasti.

"Gigi!" Bang Alif menjawab seolah ia mendengar isi pikiranku.

Dia membuka kertas kuno itu. Aku juga penasaran. Tidak sabar menunggu penjelasannya, aku ikut membaca.

"Anak dare menanam bunge. Bunge layu daan di siram. Biar kubawakan dare suntimu buat kebun pandanku subur dan makmur. Wahai Antu Bela-uu."

Bang Alif terlonjak. Dia melempar semua yang dia pegang. Aku menatapnya heran.

"Antu Belau!" Pekiknya.

"Ada apa, Bang? Hantu apa?"

"Kita harus pergi dari rumah ini, Dek. Secepatnya!"

"Apa?!"

***

Bersambung

RUMAH ( Lengkap )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang