Sepuluh

4.6K 259 5
                                    

Pukul dua siang Ustadz Ibrahim datang bersama para rombongan, mereka berjumlah sepuluh orang. Sementara itu para warga bersiap dengan perlengkapan mereka. Ada yang membawa obor dan penerangan lain. Aku menatap cemas di teras rumah Uwan saat Ustadz Ibrahim datang menghampiri.

"Doakan supaya suamimu cepat ketemu ya, Nak. In shaa Allah dengan pertolongan Dzat Yang Esa kita bisa melalui semua ini."

Aku mengangguk.

"Pak, rombongan telah siap. Kita bisa pergi sekarang sebelum petang," ujar salah seorang pemuda yang tadi ikut di barisan Ustadz Ibrahim.

"Ini kali ketiga Ustadz datang ke kampung demi mencari seseorang." Uwan berbisik di sampingku.

"Iye, dulu waktu Desi kemasukan. Kedua saat nyari pemuda yang hilang di hutan Paloh tapi ditemukan persis di belakang rumah itu dan ini yang ketiga demi mencari suamimu. Ustadz Ibrahim itu ulama besar. Beliau terkenal bisa berurusan dengan hal gaib seperti ini." Ibu paruh baya yang lain, belakangan kuketahui bernama Wan Sidrah-adik Uwan- menimpali.

Rombongan mulai berarak dipimpin oleh Ustdaz. Ia berjalan tegap meski umur sudah memasuki usia lanjut. Seharusnya beliau beristirahat di rumah saja ketimbang mengurus pekerjaan berat seperti ini. Kembali diriku diliputi kekahwatiran, bagaiamana jika pak ustadz kenapa-napa? Demi Allah aku tidak menginginkan itu. Tetapi saat mengingat pengalaman spiritual kelam kemarin malam membuatku sadar bahwa jin itu bisa melakukan apa pun. Sayangnya, diriku tidak diizinkan ikut. Aku sadar, jika terjadi sesuatu wanitalah yang mudah tergoda. Aku memilih berdiam di rumah Uwan sambil berdoa semoga Bang Alif ditemukan dan dalam keadaan baik-baik saja.

"Nak Diah, makan dulu. Sejak semalam Uwan tahu Nak Diah belum menyentuh makanan. Ayo dimakan."

Sepiring nasi dan lauk-pauk terhidang di meja teras persis di samping tempatku duduk yang disajikan oleh Wan Sidrah. Mereka menyemangati dan menenangkan diriku saat merasa gelisah. Meski selera makan pergi entah kemana, akhirnya mau tidak mau kupaksakan mulut ini mengunyah nasi sebab para Ibu-ibu di rumah Uwan sangat mencemaskan kondisiku. Kata mereka wajahku pucat dan tampak kurus. Demi melihat mereka senang, aku menghabiskan isi piring.

Sekian jam menunggu, iringan rombongan pencari tidak juga kembali. Berkali-kali aku mondar-mandir dari teras ke jalan demi melongo sebentar menengok keberadaan mereka ke arah ujung kemudian balik lagi ke teras rumah. Tidak hanya diriku, beberapa Ibu masih berkumpul menantikan putra dan suami mereka pulang dan membawa kabar baik.

Disela-sela sesi penantian, beberapa cerita seram mengalir dari mulut para ibu. Katanya, selain tiga kejadian itu ada juga mayat yang mulanya terlentang tetapi saat lewat di depan rumah tiba-tiba berubah posisi menghadap ke arah rumah. Selain itu juga mata mayat yang terpejam mendadak terbelalak seperti melihat sesuatu yang sangat menyeramkan.

Kemudian beberapa tahun lalu sebelum seorang pemuda Pontianak dinyatakan hilang, ada anak gadis keturunan Tionghoa, putri Tauke kampung sebelah kesurupan tujuh hari tujuh malam karena mengadu kasih dengan pacarnya di rumah kosong itu.

Lalu, seorang ibu menceritakan pula bagaimana ia dan sang suami disesatkan dalam hitungan beberapa jam di belakang rumah itu karena nekad mencari kayu bakar meski mereka sudah tahu larangan untuk tidak mendekat ke sana.

Seorang gadis menimpali bahwa dia pernah melihat ada sosok yang mengintip di jendela rumah itu saat prosesi pengantaran jenazah. Bahkan kabut di sekitarnya tidak pernah hilang, entah datang dari mana. Aura suram dan kelam selalu membayang di sana. Apa yang digambarkan gadis itu sama persis seperti yang kami rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah, waktu itu hatiku menolak namun keadaan memaksa batas kemampuan kami hingga kejadian seperti ini pun terjadi.

Seluruh cerita itu tampak ganjil, tetapi begitu benar adanya. Tidak mungkin warga desa yang kelihatan polos begini sanggup mengarang cerita hanya untuk menakuti pendatang baru. Mereka hanya memperjelas bahwa rumah tersebut harus dijauhi. Tidak layak tinggal serta menyeramkan.

"Rumah itu pernah dikuburkan seratus jenazah wanita kan?" Aku bertanya, tidak pasti kepada siapa. Mereka terdiam sekejap, kemudian salah satu ibu mengiyakan.

"Iya, tapi kemudian berita itu dianggap cuma khayalan saja, Nong," katanya.

"Itu benar, Bu. Ustadz Ibrahim yang cerita. Mungkin kejadian ini ada hubungannya dengan keluarga suami saya, karena Ibunya adalah orang yang menemukan kerangka itu untuk pertama kali." Kata-kataku meluncur begitu saja dan disambut ucapan Astaghfirullah oleh orang yang hadir.

"Mungkin ada kaitannya kenapa suamimu diculik, Nong. Katamu yang menemukan adalah Ibunya, namanya ...." Dahi Uwan berkerut tanda dia sedang berpikir, "Asfia?" serunya kemudian. Aku mengangguk.

"Lailahailallah, Nenek Bu Fia itu dulunya adalah pemasok daun pandan untuk usaha pengekstrak pandan wangi di desa kita. Saat itu, ramai warga desa yang bekerja di pabrik. Tetapi saat nenek Bu Fia meninggal, tiba-tiba pabriknya ikut berhenti. Bos pabrik dikabarkan gila dan masuk rumah sakit jiwa di Jakarta karena kehilangan tiga putri kembar mereka." Uwan bercerita dengan lancar. Fakta baru terungkap lagi.

"Aki dulu kerja di situ, Nak. Bahkan semua suami Ibu-ibu yang hadir di sini mantan pegawai pabrik. Menurut desas desus, di antara seratus tulang wanita yang ditemukan, tiga di antaranya cocok dengan DNA pak bos. Yang berarti bahwa, tiga putri kembar bos diculik Nenek Fia dan dikuburkan di sana. Mengerikan sekali." Tubuh Uwan menggelinjang, aku ikut bergidik.

"Setelah Fia meninggalkan rumah Neneknya secara tiba-tiba, sejak saat itu keanehan demi keanehan mulai terjadi di sana. Fia juga tidak pernah kembali ke sini, akhirnya terbiar begitu saja. Lalu beberapa tahun kemudian, Bu Sinah datang bersama anak gadisnya dan terjadilah kejadian mengerikan itu. Anaknya meninggal karena setan tidak mau keluar dari tubuhnya." Wan Sidrah menimpali cerita Uwan.

"Mungkin, ada hubungannya dengan suamiku, ya, Wan?" Dengan polos aku bertanya. Tentu saja ada hubungannya, Neneknya Ibu suamiku telah melakukan hal jahat dengan menimbun seratus gadis di belakang rumahnya, apa lagi kalau bukan pesugihan, pasti suamiku dituntut untuk melanjutkan warisan perjanjian dengan si setan. Menjadi pertanyaan besar buatku, apakah ibu Bang Alif juga melakukannya? Entahlah. Tapi beliau sudah meninggal tiga tahun lalu. Tidak ada yang bisa menjawab. Kalaupun tidak dilakukan, pasti ada cara untuk menangkal kutukan turunan itu. Pasti ada cara.

***

Bersambung

RUMAH ( Lengkap )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang