Chapter 5

1.3K 205 37
                                    


Berbeda dengan hari sebelumnya, Seungcheol memutuskan untuk tidur di kamar utama, dan suara pintu yang dibuka menjadi gangguan yang membangunkannya. Ia berdecak, jelas kesal karena terbangun ketika masih lelap dalam tidur, kemudian menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Matanya masih terasa lengket sekali, sungguh. Jadi, ia berusaha untuk kembali ke alam mimpi ketika sebuah pergerakan terasa dari sisi lain tempat tidurnya.

"Bangunkan Appa, nak."

Suara itu familiar baginya, tanpa perlu membuka mata pun dapat dengan mudah ia mengenalinya. Sebuah beban tiba-tiba tiba saja terasa di dadanya. Helaian rambut berwarna hitam adalah hal pertama yang menyambutnya ketika ia memutuskan untuk menyingkirkan hangatnya selimut dan kembali dalam kesadaran. Balita itu meletakkan kepalanya di dada Seungcheol rupanya. Menyadari hal itu, Seungcheol kemudian mengangkat tubuh Jihoon dan menidurkannya sepenuhnya di atas tubuhnya.

"Appa."

Panggilan itu selalu menghangatkan hatinya tiap kali terucap dari bibir Jihoon. Padahal, jauh dalam logika ia sadar bahwa Jihoon bahkan mungkin tidak memahami arti kata ganti dirinya itu. Jihoon adalah anak yang pandai, ia mengikuti bagaimana Jeonghan dan Soonyoung memanggil dirinya. Tapi tak apa, bagaimanapun juga, Jihoon akan mengerti nantinya, siapa dan apa posisi Seungcheol dalam kehidupannya.

"Selamat pagi bayi Appa."

Sapaan itu diberikannya bersamaan dengan kecupan di puncak kepala Jihoon, serta pelukan yang melingkari tubuh mungilnya. Ia menggumam sembari memejamkan mata, paginya terasa berkali lipat lebih indah dibanding biasa dengan adanya si gempal dalam pelukan. Untuk itu, ia melewatkan senyuman hangat di wajah Jeonghan yang tengah membuka tirai di jendela kamar.

Balita itu mendongak untuk memandang wajah Seungcheol, "Appa bangun?" tanyanya. Seungcheol mengangguk, lalu tertawa akibat wajah Jihoon yang terlampau menggemaskan di hadapanya. Ia membingkai wajah Jihoon dengan kedua telapak tangannya, kemudian memberikan kecupan di seluruh wajahnya hingga balita itu terkekeh kesenangan.

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Jeonghan sembari melangkah keluar dari kamar mandi dengan pakaian kotor milik Seungcheol di tangannya.

"Belum ada, bagaimana denganmu?"

"Membersihkan rumah dan sebagainya, seperti biasa."

Dingin adalah apa yang dipilih Jeonghan untuk menjawab pertanyaan Seungcheol. Menatap ke arahnya ketika berbicara pun enggan dilakukan Jeonghan. Ragu menjadi hal yang menyelimuti, namun ia mengumpulkan seluruh keberaanian untuk bertanya selagi laki-laki cantik itu masih menyibukkan diri dalam kamar.

"Mau pergi bersama?"

"Kau saja dengan Jihoon."

Jawaban Jeonghan menyakitkan untuk didengar. Seungcheol seperti tak mengerti Jeonghan. Tak paham, benar-benar tidak mampu menerka kesalahan yang telah dilakukannya pada Jeonghan hingga ia tega menyakiti Seungcheol hingga seperti ini. Lelaki berambut panjang itu tak lagi seperti Jeonghan yang membuatnya jatuh cinta. Jeonghannya akan selalu berjuang bersamanya, dan tak akan pernah melepaskan diri dari genggaman tangannya.

Ia menutup kedua matanya, melawan rasa panas yang terasa di balik kelopak. Seungcheol hanya ingin mereka menghabiskan waktu bertiga sebelum ia harus kembali bekerja di seberang lautan, merasakan arti keluarga meski untuk waktu yang singkat. Namun, hati Jeonghan begitu keras, kata berpisah itu masih dengan mudah terlontar dari bibirnya. Jika Seungcheol pergi nanti, ia tak tahu apakah kedua kakinya masih dapat menginjak rumah ini lagi.

Waktu yang dimilikinya begitu singkat, memori adalah apa yang ingin dikumpulkannya dalam kehadiran Jeonghan dan Jihoon. Untuk mengingat dan mengulang kembali bagaimana senyuman keduanya diarahkan padanya. Waktu menjadi hal paling berharga yang kini dimilikinya, Seungcheol ingin Jeonghan memahami itu. Jika ia memang tak lagi sudi berbagi masa depan dengannya, Jeonghan setidaknya harus membiarkan Seungcheol untuk menyimpan momen kebersamaan mereka dalam ingatannya.

Kisah & MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang