Chapter 7

1.3K 189 38
                                    

Bulan sudah mulai meninggi ketika Seungcheol mengendarai mobilnya untuk pulang. Sang ibu menahannya di kediaman Choi, memberinya banyak sekali makanan yang mengingatkannya pada masa kecil dulu. Ia dan ibunya mengulang kembali cerita kehidupan beberapa tahun belakangan yang nihil akan kehadiran satu sama lain. Dalam cerita itu, hatinya begitu kecewa ketika Ji Young bersumpah bahwa ia bahkan tak mengungkit mengenai hubungannya dan Jeonghan ketika bertamu minggu lalu.

Ibunya bilang, ia hanya ingin kembali dalam hidup Seungcheol dan Jeonghan. Dengan melupakan masa lalu yang kelam ia datang berkunjung, kemudian menelan kecewa ketika mengetahui bahwa Seungcheol tengah bekerja di Amerika. Keberadaan Jihoon di rumah itu tentu mengagetkan, namun ibunya menerima pelukan putra mereka dengan tangan terbuka. Bahkan, ibunya juga mengatakan bahwa ia akan kembali berkunjung dengan membawa kue yang kemarin begitu disukai oleh Jihoon.

Suasana hangat antara ibu dan anak itu harus terhenti ketika Seungcheol menyadari arloji di pergelangan tangan telah menunjukkan pukul tujuh malam. Ji Young berusaha membujuknya untuk tinggal, tentu saja. Namun, dengan berat hati Seungcheol menolaknya. Ia tak lagi memiliki hak dalam rumah itu. Ia hanyalah tamu, yang mungkin bahkan tak diharapkan oleh pemilik rumah. Seungcheol akhirnya memaksakan diri untuk berdiri dan menggandeng ibunya menuju pintu masuk.

"Aku harus pulang sebelum Siwon-ssi datang dan mengamuk pada Eomma karena melihatku di sini." Seungcheol bermaksud untuk bergurau tentunya. Namun, gurat kesedihan justru muncul di wajah sang ibu. Mengerti rasa sakit yang dirasakan ibunya, ia memeluk wanita itu dengan erat.

"Maafkan keegoisanku, Eomma." Bisik Seungcheol sebelum melepaskan pelukannya.

Seungcheol meninggalkan Ji Young di ambang pintu sebelum ibunya sempat berkata-kata. Ia tahu pasti bahwa ibunya akan meneteskan air mata setelah ini, dan itu adalah hal terakhir yang ingin ia saksikan. Seungcheol menancap gas terburu-buru, malas jika harus berpapasan dengan Choi Siwon jika ia tak cepat-cepat pergi. Dari kaca spion ia menangkap ibunya tengah melambai padanya.

Jalanan ibukota tengah padat-padatnya, sementara Seungcheol tak sabar untuk sampai di rumah. Ia teringat akan janjinya pada Jihoon untuk menonton video bersama, dan ia hanya bisa berharap bahwa putranya itu belum tidur ketika ia tiba nanti. Setelah perjalanan yang cukup panjang akhirnya ia tiba di rumah. Tak sabaran ia turun dari mobil untuk memberi pelukan pada putra gembilnya.

Dengan helaan nafas ia menutup pintu dan meletakkan kunci mobil di atas bufet. Ia tengah membuka sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah ketika suara Jihoon yang berteriak memanggilnya terdengar dari ruang tamu. Balita itu susah payah turun dari mobil mainannya dengan terburu-buru, lantas berlari untuk menyambutnya. Namun, belum sempat bibirnya memperingatkan Jihoon untuk tak berlari, hal buruk telah terlebih dahulu menimpa putranya.

Jihoon tersandung kakinya sendiri, tubuhnya terhuyung mengenai lemari kayu dengan begitu kencang. Tangisan putranya adalah hal pertama yang terdengar, balita itu tersungkur di kaki lemari dan tak bergerak dari sana. Dengan cepat Seungcheol menghampirinya, mengangkat tubuh Jihoon berdiri untuk memeriksa keadaannya. Jantungnya berdegup begitu cepat ketika merah darah menyapanya di kening kanan putranya. Kening Jihoon sepertinya menghantam sudut lemari yang tajam hingga terluka seperti itu.

Bukan hanya setitik dua titik, darah itu mengalir hingga ke pipinya, menandakan luka yang cukup parah. Seungcheol membawa Jihoon dalam pelukan, ia menggendong putranya sebagaimana dulu ketika ia bayi. Tangisan itu tak mereda, bahkan semakin kencang dan terdengar menyedihkan. Dengan sebelah tangan yang bebas ia merogoh saputangan di saku celananya dan menekan kening Jihoon di mana luka berada.

Panik, ia berdiri dan mulai menimang Jihoon, berharap gestur itu mampu meredakan tangisan yang menyayat hatinya. Seungcheol meneriakkan nama Jeonghan berkali-kali, hingga akhirnya laki-laki itu datang dari arah tangga. Keterkejutan di wajah Jeonghan mungkin mencerminkan apa yang dialaminya tadi. Sebelah tangan Jeonghan berpegangan pada dinding karena kakinya tak mampu menopang dirinya, sementara wajahnya pucat setelah melihat kondisi Jihoon dalam gendongannya.

Kisah & MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang